PPKM: PASCA PANDEMI KAMU KE MANA? 2021-07-18 11:25

Salah satu sudut kota lama Singapura

 

Daripada frustrasi membahas PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Darurat, mendingan kita bahas saja PPKM: Pasca Pandemi Kamu ke Mana? Anggaplah tiba-tiba Captain Marvel datang bak meteor menghancurkan si korona, dan dunia mendadak normal, boleh bepergian ke mana saja. Negara mana dulu yang akan kamu tuju?

 

Kalau saya, ada satu negara tetangga yang jadi tujuan segera setelah pandemi usai: Singapura! Mungkin karena Singapura adalah tempat saya menginjakkan kaki di tanah yang bukan Tanah Air kira-kira 25 tahun yang lalu. Di masa itu, pesona Singapura masih jadul: Haw Par Villa, menginap di Furama, dan jalan-jalan di sepanjang Orchard Road. Apa sih yang dicari dari Singapura? “Pengalaman jalan di trottoir bersih dan lebar, naik kendaraan umum seperti MRT, dan melihat megahnya Bandara Changi!” kata seorang teman. Menurut saya, ini jawaban jitu: hal sederhana yang tidak bisa terwujud di Indonesia. “Rehat” sejenak dari ruwetnya republik kita!

 

Salah satu pose wajib di Singapura

 

 

Selain dekat, Singapura juga menjadi pilihan praktis karena makanannya cukup berbeda, namun tidak terlalu jauh dari selera kita. Tidak perlu bawa mie instan! Contohnya adalah Chilli Padi Nonya Restaurant di Joo Chiat, yang menghadirkan hidangan khas nonya atau peranakan seperti nasi goreng keluwak dan kari ayam. Pemanfaatan buah keluak baik di nasi goreng maupun pada ayam bumbu keluwak sangat berbeda dengan bumbu rawon ala Jatim: rasa keluwak lebih menonjol dengan tendangan asam-gurihnya, serta warnanya masih khas namun berbeda rasa. Ini saja sudah menarik lidah kita keluar dari “comfort zone” ala Rawon Setan, dan membawa ke sebuah pengalaman baru!

 

Nasi goreng keluwak

 

Belum ke Singapura kalau belum makan di Hawker Center! Saat itu, kami diajak ke Old Airport Road Hawker Center oleh rekan yang tinggal di Singapura. Pilihan yang tepat karena meskipun tempatnya sederhana, namun bintang Michelin sempat singgah di salah satu kiosnya! Kami tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Kami memesan Char Kuai Teow, yang berbeda dengan gagrak Indonesia pada umumnya, tidak mengandalkan kecap manis tapi kombinasi minyak dan kecap asin serta char alias kegosongan yang menjadikannya hitam legam. Rasanya pun ciamik: rasa smoky yang kuat, tekstur kuetiau yang lembut nyaris menuju ci cong fan, serta bumbu sederhana yang tidak semenonjol kuetiau ala Medan.

 

Char kuai teow

 

Dua hidangan unik kemudian menyusul: rojak dan nasi ayam hainam/ayam rebus. Rojak Singapura, meskipun disebut berasal dari Jawa, rasanya sangat berbeda dengan rujak buah kita. Di sini rojaknya cenderung gurih, dengan irisan cakue dan gorengan pada hidangannya. Sementara nasi ayam hainam tentu saja adalah hidangan khas Singapura: konon diciptakan oleh pekerja asal Hainan di sini. Mencicipi sesuatu di tempat asalnya, memang beda! Ayam yang kenyal namun empuk, renyah lembut ketika disantap, berpadu dengan nasi berbalur minyak ayam yang pas sedapnya. Wih, haujek beneran ini!

 

Nasi ayam hainam

 

Ada satu pengalaman tak terlupakan ketika terakhir ke Singapura: menikmati chili crab --sebuah hidangan lain khas Singapura- di Long Beach Seafood Dempsey Road! Berhubung waktu itu diajak oleh keluarga yang tinggal di sana, kami kebingungan karena tidak ada MRT menuju Dempsey Road. “Itu daerah elit, kamu harus naik taksi!” kata seorang teman. Pantas saja! Rupanya Dempsey Road adalah kawasan berbukit yang disulap jadi lokasi resto-resto kelas atas bintang lima. Tujuan kami: Long Beach Seafood, sebuah institusi senior seafood di Singapura. Chili crab, kami pesan dengan kuahnya yang gurih sedikit pedas, dengan tarikan rasa gurih dari jus kepiting raksasa segar --hasil terbaik dari lautan se-Asia Tenggara! Melap sisa saus dengan roti mantau yang disajikan, betul-betul bikin ketagihan. Ada juga baby squid: asinan cumi supermini yang digoreng kering dan dibubuhi wijen. Rasa indah dan pemandangan cantik, menjadikan pengalaman ini tak terlupakan!

 

Chili Crab di Long Beach Seafood

 

Baby squid

 

Mengenai objek wisata, tentu Singapura tak diragukan lagi keandalannya. Saat itu kami berkesempatan menginap di Pulau Sentosa. Sebagai warga negara yang memiliki 17.000 pulau, saya takjub melihat bagaimana seujung kerikil Pulau Sentosa ini disusun dengan demikian rapinya. “Whole island under surveillance” kata sebuah plang, yang menunjukkan betapa hebat teknologi mencengkeram pulau yang cuma sebiji ini. Kami menikmati jalan dari lobby hotel menggunakan kereta monorail yang nyaman menuju sepotong pasir putih, dan langsung “parkir” di situ untuk memberi kesempatan main pasir. Persis di Bali, yang membedakan hanya latar belakangnya: jajaran kapal kontainer yang berbaris sepanjang cakrawala!

 

Bermain pasir di pantai di Pulau Sentosa

 

Kami sempat mampir ke S.E.A. Aquarium, di mana anak-anak bisa menikmati melihat ikan-ikan dalam akuarium besar, seperti biasa serba bersih dan teratur. Belum puas rasanya kami main di Sentosa, tak terasa dua malam sudah berlalu dan keesokan harinya kami harus kembali ke Tanah Air. Kami agak “nekat” menggunakan MRT pada jam sibuk dengan dua stroller anak, bersiap menghadapi pelototan warga lokal yang terkenal garang. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya: justru dengan melihat kami bawa dua anak balita, bahkan nonik paling judes pun menawarkan senyum dan minggir menyediakan tempat sehingga stroller kami muat dengan nyaman. Wow, sebuah pengalaman tak terduga, yang membuat kami segera ingin kembali ke Singapura pada kesempatan berikutnya. Yuk, kapan nih!

 

Touch Pool di S.E.A. Aquarium

 

Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.

 

 

Teks & Foto: Harnaz Tagore (Harry Nazarudin)
Comment