BERKELANA MENYUSURI SUNGAI PO (3) - VENEZIA DAN MIRANO 2023-12-15 17:35

Venezia dan gondola

 

“Bagaimana, kamu sudah sampai? Perjalanan aman? Tunggu sebentar ya, saya segera ke hotel,” kata teman saya yang mengundang kami menginap di Mirano, sebuah desa dekat Venezia, Italia. Rekan ini memang lahir di Italia, tetapi ibunya berasal dari Palestina, sehingga kami bisa merasakan keramahan ala Timur Tengah yang jarang ada di Eropa. Atas masukan beliaulah kami menginap di Hotel Cinque Colonne di Kota Mirano ini. Masukan pertama sangat penting: “Ayo pesan makan dulu, baru check in. Karena mereka tutup jam 14.00,” katanya.

 

Baca juga: “Berkelana Menyusuri Sungai Po (1) - Torino dan Piemonte

 

Venezia adalah kota yang cantik, terletak di laut dengan kanal-kanal indah, bahkan jadi tempat shooting dari Charlize Theron sampai Hercule Poirot “A Haunting in Venice”. Tapi, tempat ini terkenal sebagai “tourist trap” alias jebakan wisman! Bayangkan, setiap tahun sekitar 4 juta turis mendatangi Venezia yang luasnya hanya 400 km2. Bandingkan dengan luas Kabupaten Badung Bali yang kira-kira sama, kedatangan turisnya sekitar setengahnya. Itu saja sudah penuh! Timbullah banyak jebakan seperti restoran yang mencatut harga mahal, hotel yang terlihat murah tapi berhantu, bahkan skandal penyerangan seksual terhadap turis di salah satu penyedia penginapan online. Serem! Makanya, meskipun sering ke Italia, saya jarang ke Venezia. Sampai ketemu rekan kami yang lama tinggal di Mirano, dekat Venezia. “Kalau mau ke Venezia, menginap di Mirano saja, nanti saya antar jalan-jalan!” katanya. Siaaap!

 

Venezia cantik dengan kanal-kanal indahnya

 

Wah, spaghetti vongole (kerang) dari Restoran Cinque Colonne sudah tiba. Aih, cantiknya! Pasta lembut dengan bumbu yang minimalis, menonjolkan aroma laut dari kerang batik yang meruapkan aroma sedap, bersama dengan wanginya mentega dan oregano segar yang ditaburkan di atasnya. Boljug nih! Dengan cepat, spaghetti vongole ini ludes, maklum pegel jugak nyetir dari Bergamo sampai Mirano selama hampir 3 jam. “Tapi, mereka terkenal dengan pizza-nya. Besok malam ya, kita coba!” kata teman kami. Siapa takut?

 

Spaghetti vongole (kerang) dari Restoran Cinque Colonne

 

Restoran Cinque Colonne

 

Sebelum ke Venezia keesokan harinya, kami berjalan kaki menjelajahi kota kecil bernama Mirano ini. Sekilas kami bisa melihat bahwa ini adalah daerah yang makmur --tapi kalau Bergamo letaknya di gunung, ini di tepi laut! Simbol singa Venezia nampak terukir di mana-mana, bersamaan dengan desain benteng atau tembok lancip yang mengingatkan saya pada Piazza San Marco Venezia. “Di Mirano, kami melakukan ‘aperitivo’ yang sesungguhnya: bukan makan, tetapi minum!” kata teman saya.

 

Baca juga: “Berkelana Menyusuri Sungai Po (2) - Parma dan Bergamo

 

Suasana Kota Mirano

 

Simbol singa Venezia

 

Kami memulai di sebuah kedai bir bernama Panin Otto & Bira Bona, yang menyediakan bir kriya (craft beer). Lumayan! Kemudian kami mampir ke bar kedua, sambil melihat bagaimana di Jumat malam itu, bar demi bar nampak riuh rendah, dipenuhi warga segala usia yang makan dan minum melepas penat seminggu bekerja. Berikutnya, kami mencicipi Aperol Spritz: minuman aperol bitter (pahit) yang dicampur dengan soda. Sedap, apalagi ketika suhu di luar menyentuh 9oC. Kami mengobrol di luar sambil menyantap kudapan seperti gorengan roti dan gorengan bunga zucchini, yang mengingatkan saya pada pecel turi di Indonesia.

 

Suasana di dalam bar di Mirano

 

Bunga zucchini goreng

 

Mata mulai nanar, dan sensor tubuh sudah memberikan kode bahwa kadar alkohol di darah sudah mendekati ABT (Ambang Batas Terjengkang, wkwkwk). Kami pun pamit dan berjalan kaki menuju hotel. Inilah kondisi ideal kalau mau minum santai --jalan kaki, jangan menyetir! Kami pun beristirahat di kamar Cinque Colonne yang modern, bersih, dan nyaman. Besok pagi setelah sarapan, Venezia menanti!

 

Kamar di Hotel Cinque Colonne yang modern

 

Venezia punya kenangan tersendiri untuk saya. Pengalaman pertama kali ke Eropa adalah tur bersama ayah ibu saya kira-kira 30 tahun lalu, termasuk ke Venezia. Begitu tiba, saya sangat terkesan pada bangunan dan suasana magis dari pulau ini. Eh, kamera Pentax yang kami bawa mendadak macet! Akhirnya kami terpaksa membeli kamera kodak kertas (“Yang seumuran mana suaranyaaaaa?”) yang kami pakai sampai tur selesai. Keindahan Venezia begitu membekas di hati, sampai dua puluh tahun kemudian saya memutuskan berbulan madu bersama istri baru saya (waktu itu masih baru!) dengan mengarungi kanal-kanal Venezia diiringi lagu romantis dan hati meringis karena segalanya serba mahal!

 

Venezia, favorit untuk berbulan madu

 

Baca juga: “Bertualang ke Danau Garda dan Verona di Italia

 

Tapi pergi ke Venezia diantar orang lokal? Belum pernah! Kawan saya menjemput dengan mobil Alfa Romeonya di jam sembilan pagi. Padahal, dari depan Cinque Colonne, kita bisa naik bus (beli tiket di toko tembakau) yang dalam waktu 45 menit akan membawa kita ke Piazza le Roma di Venezia. “Saya malas naik bus, yuk naik mobil saja!” katanya. Dia sempat menyesal karena tempat parkir di Piazza le Roma penuh! Untungnya, parkiran di Venezia Tronchetto (sebelah kanan begitu turun jembatan) masih banyak. Dari situ, kita beli tiket untuk naik Tronchetto (People Mover) yang membawa kita ke Piazza le Roma. Selamat datang lagi di Venezia!

 

Baca juga: “Vatikan dan Roma: Di Atas Batu Ini…

 

Biasanya, saya datang ke Venezia melalui kereta api dan tiba di Stasiun Kereta Api Santa Lucia yang megah, menghadap ke Grand Canal alias kanal utama kota. Tapi, kali ini kami mencapai Piazza le Roma dengan berjalan kaki! Malah arsitektur Stasiun Santa Lucia langsung dikritik oleh teman saya. “Stasiun ini dibangun oleh Mussolini. Lihat desainnya: serba lurus ala fasis!” katanya. Karena datang berjalan kaki dari Piazza le Roma, Venezia tidak hadir dengan megah, tapi sederhana, dari gang satu ke gang lainnya, sampai kita melihat Grand Canal. Tujuan pertama ke mana? “Tempat parkir gondola!” kata teman saya. Apa itu?

 

Teman saya dan istrinya --tanpa peta-- berjalan masuk-keluar kanal, dan kami melalui jalan-jalan Venezia bagai di film-film, sampai pada sebuah area kanal besar di depan Hotel Cavalletto. Di sinilah tempat gondola biasa parkir! Luar biasa: pria (dan beberapa wanita) berbaju garis-garis hitam putih, berdiri di belakang perahu, dengan dayung panjang, bermanuver di celah sempit dan memarkir gondolanya. “Para gondolier (pengayuh gondola) berasal dari satu desa yang sama, hanya penduduk situ yang boleh kerja jadi gondolier. Penghasilannya besar, 30 menit harganya EUR80!” katanya. Dan ternyata, bentuk aneh di ujung gondola yang sekilas seperti kipas, ada artinya. “Enam sirip di kanan adalah simbol enam kecamatan di Venezia (Cannaregio, Castello, San Marco, San Polo, Santa Croce, dan Dosodouro). Satu sirip di kiri adalah simbol satu pulau di Venezia (Giudecca). Kepalanya yang seperti kipas, adalah mahkota Doge, raja Venezia. Doge ini bukan turun-temurun, tapi dipilih --Venezia adalah republik!” katanya. Oalah, baru tau saya!

 

Di sinilah tempat gondola biasa parkir

 

Bentuk aneh di ujung gondola, enam sirip di kanan simbol enam kecamatan, satu sirip di kiri simbol satu pulau

 

“Apakah kita hanya lihat gondola doang, nggak naik gondola?” tanya saya agak menantang. “Kamu mau naik gondola? Bisa! Ayo, ikut kami ke pasar ikan!” katanya. Kami pun menyusuri lagi gang demi gang Venezia. “Penamaan Venezia ini unik: alun-alun (city square) tidak disebut ‘piazza’, tetapi ‘campo’ --kecuali Piazza San Marco,” katanya. Tak lama setelah berjalan, kami tiba di sebuah bangunan tinggi berlantai kayu dan memiliki dermaga di satu sisi. Saya mengenali tikungan ini --tempat kejar-kejaran di salah satu film Tom Cruise. Rupanya ini Pasar Ikan Venezia! Sayang, ini hari Minggu sehingga pasarnya tutup. Namun, kemilau cahaya sore hari di permukaan air yang diselingi tiang penambat kapal berwarna biru-putih khas Venezia, nampak sangat indah. “Yuk, saatnya naik gondola!” kata teman saya. Saya merogoh kocek, biar gak malu-maluin. Bakal mahal nih!

 

Antre naik gondola

 

Kami mengantre untuk masuk ke sebuah dermaga, sebuah gondola nampak terparkir menunggu kami. Biayanya murah: EUR1 saja! Lho, kok bisa? Ternyata, gondola ini hanya berfungsi sebagai getek alias hanya menyeberang dari pasar ikan ke sisi seberangnya. Tapi, gondola tetap gondola! Gondolier-nya tetap pakai seragam putih hitam, hanya yang ini nggak pakai nyanyi! Kami foto-foto dengan riang gembira sepanjang perjalanan, kira-kira 2 menit. Gaya maksimal, budget minimal! Hehe. Setelah tiba di seberang, teman saya menunjukkan sebuah bangunan bengkel dengan kapal gondola yang sedang dibuat. “Itu lokasi tempat gondola dibuat, termasuk cagar budaya dan masih sama prosesnya seperti ratusan tahun lalu…” katanya menjelaskan.

 

Kami foto-foto dengan riang gembira sepanjang perjalanan, kira-kira 2 menit

 

Bengkel produksi gondola

 

Sekarang: makan! “Yuk, kita ke … makan makanan khas Venezia!” kata teman saya. Tempat ini agak nyempil, kecil, tapi hangat dengan interior kayu ala pub Inggris. Kami minum bir dan mencicipi … sebuah sandwich dengan irisan sosis sapi dan sayuran. Lumayan, mengisi perut setelah jalan jauh. Lalu, ada apa lagi? “Sekarang, kita jalan ke bar milik kamu!” kata teman saya. Hah, maksudnya? Bukan, bukan “Apotek Harnaz” seperti di Kisaran, tapi “Harry’s Bar”. Rupanya, ini bar yang sangat terkenal, tempat Ernest Hemingway nongkrong dulu. Interiornya 1950’s banget, sempit tapi penuh sesak oleh turis Amerika. Kami memesan minuman wajib di sini: cocktail dari semangka bernama Bellini. Wow, lumayan mahal, EUR20 segelas. Tapi, melihat seorang bartender berseragam lengkap meracik minuman ini, apalagi mengingat Ernest Hemingway minum ini bisa jadi penulis keren, saya teguk segelas sambil berharap jeniusnya Ernest nempel ke saya sedikit. Amin!

 

Suasana di dalam Harry’s Bar

 

Bartender meracik cocktail dari semangka bernama Bellini

 

Penulis di depan Harry’s Bar

 

Setelah puas berkeliling, kami bersiap pulang. “Saya ingin menunjukkan satu bagian Venezia yang cukup menarik: ghetto Venezia, salah satu ghetto tertua di dunia,” kata teman saya. Ghetto adalah sebutan untuk wilayah hunian khusus bagi orang Yahudi, yang ternyata pertama kali di dunia adanya di Venezia. Sekali lagi kami berjalan melalui gang demi gang, sampai ke sebuah lokasi yang ditandai penjagaan beberapa tentara bersenjata. Maklum, konflik Hamas-Israel baru saja terjadi dua minggu sebelumnya. Kelihatannya seperti campo biasa saja, tapi bangunannya lebih tinggi --kalau biasanya 3-4 lantai, ini 5-7 lantai. “Karena jumlah orang Yahudi cukup banyak, makanya bangunan di sini boleh dibangun lebih tinggi,” katanya menjelaskan. Baru saya melihat bahwa tulisan di palang pintu berhuruf Ibrani dan ada lambang bintang Daud, serta nampak sekelompok orang berpakaian hitam-hitam khas dari agama ortodoks Yahudi. Setiap kali melihat ini, saya selalu berpikir: yang disebut “Yahudi” itu cuma suku saja kok, seperti “Batak” atau “Jawa”. Patutkah kita benci pada seseorang hanya karena agamanya, sukunya, atau apa yang dilakukan oleh orang lain yang satu suku dengannya? Yuk ah, kita sudah terbiasa semua basudara di Indonesia!

 

Jewish ghetto di Venesia

 

“Duh, saya bosan jadi tour guide. Yuk kita cari kafe lokal!” kata teman saya. Lah, memangnya ada? Dengan gesit, suami-istri ini kembali melewati jembatan dan menyusuri kanal. Ajaib, di salah satu belokan, mendadak jalanan sepi sunyi tanpa turis! Lalu, kami menyeberangi sebuah kanal yang cukup lebar, sampai di satu sisi di mana terdapat jajaran bar-bar yang hanya dikunjungi penduduk lokal. Wow, hebat! “Sekarang dengan adanya review online, sulit menjaga bar lokal dari serbuan turis. Tapi, di sini kita berhasil!” katanya sambil tersenyum dan memesan segelas wine putih untuk kami. Sedap! “Coba saya ketok, Fabio ada di rumah nggak ya?” Rupanya Fabio adalah pelukis asal Brazil yang punya toko kecil di sebelah bar tempat kami minum. Sayang beliau tidak ada, sehingga kami cuma menikmati galeri lukisannya, sambil mengagumi temaram matahari sore Venezia yang indah dan masih memesona.

 

Makan malam, sesuai janji: pizza Cinque Colonne! Kami sempat mandi sebentar menyegarkan diri. Gimana sih definisi pizza yang enak itu? Di Italia: patokannya adalah Tiga D: Dough, Daging, dan Daun! Dough alias rotinya harus agak chewy alias lengket, dalamnya lembut sementara kulitnya tipis tapi renyah. Pengulenannya harus membuat lubang CO2 yang besar di sisinya ketika difermentasi, sehingga ketika dipanggang dalam oven pinggirannya menggelembung gurih krispi binti mak nyus. Kedua: Daging --nggak boleh dari kaleng! Dalam pizza yang saya pesan, daging cincang sapinya sebenarnya mirip gerai Pondok Pizza, tapi ini daging segar dicincang tangan sehingga seratnya masih ada, agak medium-well kematangannya, sehingga sedapnya meledak di mulut. Ketiga: Daun! Di sini bumbu daun oreganonya juga bukan dari botol, melainkan segar sehingga masih ada bitterness dari daunnya, sedikit lembab, dan aromanya lebih kompleks meruap sedap ketika disantap. Sah, Cinque Colonne!

 

Pizza di Cinque Colonne

 

Pizza di Cinque Colonne

 

Pizza di Cinque Colonne

 

Buat yang mau jalan-jalan ke Venezia, tapi mau punya penginapan modern dan bagus dengan restoran enak, silakan cari Cinque Colonne! Tempat parkir mobil pun tersedia, meskipun harus jalan kaki sedikit. “Jangan sampai Mirano jadi penuh turis gara-gara kamu ya!” kata teman saya. Nggak janji! Yuk, ke Venezia lewat Mirano!

 

Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.

 

 

Teks & Foto: Harnaz Tagore (Harry Nazarudin)
Comment