I LEFT MY HEART IN FRANKFURT MAIN-HATTAN (1) - JALAN-JALAN DI FRANKFURT 2023-12-17 11:10

Pusat Kota Frankfurt

 

Kunjungan ke Frankfurt ini bagi saya adalah salah satu “akibat” wabah Covid-19. Frankfurt adalah kota transit, karena penerbangan ke Frankfurt dari Indonesia sering kali harganya paling bersaing. Saya sendiri beberapa kali transit di Frankfurt, tapi tidak pernah terpikir menikmati kota ini. Sampai akhirnya saya melihat video tentang Frankfurt di Youtube ketika terjebak pandemi, lalu berpikir: “Ke mana aja selama ini, kok belum pernah lihat kota Frankfurt?” Cusss!

 

Untung, saya punya sahabat asal Gombong yang tinggal di Frankfurt bersama suaminya yang orang Jerman. Jadinya saya punya guide orang Frankfurt yang doyan makan! Ke mana kunjungan pertama kita? Ke pasar!

 

Kalau Solo punya Pasar Gede, Frankfurt punya Pasar Kecil, alias Kleinmarkthalle (“Klein Markt” artinya “pasar kecil”). Dan kalau Pasar Gede punya dawet telasih Yu Dermi, Pasar Kecil Frankfurt punya Frau Schreiber! Beliau punya kedai kecil yang jualan sosis dan roti. Saya melihat cerminan kios Yu Dermi, Ma Eha, dan jagoan-jagoan pasar lainnya di sini: sebuah kedai kecil, namun bersih dan rapi, dengan menu sangat sederhana, namun ngangenin, harga bersahabat. Hebat, Frau Schreiber! Antrean panjang menunjukkan populernya kedai ini dan saya mencicipi bratwurst dan rotinya. Mantap!

 

Kedai Schreiber di Kleinmarkthalle yang menjual sosis dan roti

 

Mencicipi sosis dan roti di kedai Schreiber

 

Frau Schreiber di kedainya

 

Kleinmarkthalle menarik karena membuktikan bahwa Eropa sebenarnya tidaklah terlalu berbeda dengan Asia. Bersih, rapi, dengan garis-garis tegas ala Bauhaus, saya sudah merasa berada di Jerman bagian utara dengan pengaruh Protestan yang kuat. Di selatan (Bavaria misalnya), pengaruh Katolik yang kuat, sehingga di sana-sini banyak ukiran ornamen dan patung-patung. Paham Protestan melarang penggambaran makhluk hidup, sehingga desainnya lebih sederhana. Mengapa mirip Asia? Ternyata di sini jualan usus, otak, babat, dan buntut! Ya, orang bule ternyata makan juga jeroan! Bahkan di sini dijual “Wild” alias daging hewan liar seperti rusa. Kami mencicipi oyster segar yang disantap bersama sparkling wine, sebuah padanan yang sangat apik nan ciamik. Kemudian ada daging tuna mentah yang dicacah dan disantap dengan roti seperti bruschetta. Orang Jerman makan ikan mentah? Iya! Disajikan dengan acar bawang dengan tarikan asam-segar, enak!

 

Suasana Kleinmarkthalle

 

Wild alias daging hewan liar

 

Oyster segar yang disantap bersama sparkling wine

 

Daging tuna mentah yang dicacah dan disantap dengan roti seperti bruschetta

 

Di sini juga dijual berbagai macam rempah-rempah, bahkan ada kedai kopi kekinian lengkap dengan mesin kopi manual dan biji kopi unik --sesuatu yang jarang ada di Jerman. Ini jauh lebih beragam daripada supermarket! Apakah pasar seperti ini ada juga di kota-kota lain? “Rasanya tidak, hanya tersisa di Frankfurt ini,” jawab teman saya. Saya jadi berpikir, apakah dengan maraknya “budaya supermarket” seperti sekarang, suatu saat pasar-pasar tradisional kita akan punah dan tersisa di kota besar saja? Jangan dong!

 

Kedai-kedai lainnya di Kleinmarkthalle

 

Kedai-kedai lainnya di Kleinmarkthalle

 

Kedai-kedai lainnya di Kleinmarkthalle

 

Selain pasar, kami juga melakukan kunjungan wajib kalau di Eropa: melihat museum! Meskipun ada Museumsufer --sisi sungai dengan macam-macam museum yang berderetan-- kami memilih Museum Sejarah Frankfurt (Historisches Museum Frankfurt) yang satu gedung dengan Museum Pemuda (Jugendmuseum). Gedungnya besar, satu tiket bisa untuk dua museum ini. Bagian pertama adalah koleksi warga Frankfurt --jadi setiap warga bisa menyerahkan barang koleksi mereka ke museum kalau sudah tidak diperlukan lagi. Alhasil, terkumpullah banyak barang antik yang dipajang dengan cantik: bola dunia kuno, koin-koin, sampai lemari dan hiasan meja. Uniknya, musem menjelaskan dari mana asal barang ini, misalnya: “Pak Schmidt di tahun 1915 menyerahkan meja ini ke Museum Frankfurt. Pak Schmidt mendapatkan meja ini dari kakeknya, seorang pegawai kereta api, yang tinggal di Jalan Jakob…” Puluhan cerita-cerita seperti ini --cerita warga biasa, bukan raja atau bangsawan-- dikisahkan di sini, dan menjadi rekaman yang manis untuk rakyat biasa. Inilah “jiwa demokrasi” Jerman, yang sejarahnya tidak hanya berpusat pada raja-ratu bangsawan saja, melainkan merekam juga kisah rakyat jelata. Menarik!

 

Dari sini kami seolah dibawa melihat potret Frankfurt lapis demi lapis dari masa lalu sampai masa kini, bagaikan menembus lapisan-lapisan bawang sampai ke intinya --meskipun beberapa lapisan membuat kita mencucurkan air mata. Ada sejarah mengenai Frankfurt sebagai pusat keuangan, sejak dulu menjadi pusat percetakan koin sampai sekarang menjadi kedudukan Bank Sentral Eropa. Representasinya menarik, bahkan ada ruangan teller bank yang dibuat sebagai display, mengingatkan pada pentingnya institusi bank untuk Frankfurt.

 

Sejarah kelam juga dijelaskan dengan gamblang: bendera Nazi dengan swastika terbalik berwarna merah menyala dipajang dengan centang-perenang. Bahkan di bagian Jugendmuseum, yang tadinya memajang toko-toko zaman dulu dan miniatur kelas-kelas TK dan SD Frankfurt yang lucu dan imut, tiba-tiba memajang “Hitlerjugend” --di mana indoktrinasi fasisme sampai mempengaruhi anak-anak. Tegas, lugas, hitam, putih. Semua sejarah Frankfurt dari rata tanah kena bom Sekutu sampai bangkit lagi bak burung phoenix menjadi kekuatan ekonomi Eropa ditunjukkan di sini sehingga pengunjung bisa memahami esensi kota ini. Bagus sekali! Saya jadi berpikir: adakah “Museum Jakarta” yang memuat display tentang kerusuhan Mei 1998? Adakah “Museum Indonesia” yang memuat pembantaian rakyat zaman G30S dulu? Bisakah bendera PKI dipajang di museum? Museum kita cenderung “melupakan” yang jelek-jelek dan fokus pada yang bagus-bagus saja. Alhasil, bangsa kita jadi pelupa, dengan mudah meneriakkan slogan-slogan “bantai” dan “perang” seolah itu hal yang gagah dan berani. Justru Jerman, yang pernah menelan pil paling pahit karena perang, mengajari kita: JASMERAH alias jangan sekali-kali melupakan sejarah, baik yang buruk maupun yang baik!

 

Bendera Nazi dipajang di Museum Sejarah Frankfurt

 

Baju tahanan Yahudi di kamp konsentrasi dipajang juga di museum

 

Di lantai paling atas, ada display paling menarik: Frankfurt Jetzt! Yang artinya “Frankfurt Masa Kini”. Di sini mulai ada rekaman kisah imigran: keluarga dari India yang tinggal dan berkontribusi untuk Kota Frankfurt, kisah pengungsi Suriah yang tinggal dan beradaptasi di sini. Sebuah topik yang untuk orang Jerman sangat sensitif, lagi-lagi dibahas dengan gamblang tanpa tedeng aling-aling. Bahkan di sini lebih hebat lagi: museum menyediakan “ruang dialog” --ruang terbuka seperti kelas-kelas kecil yang saya lihat dipenuhi kelompok-kelompok kecil berbagai ras yang sedang berdiskusi, bikin event, atau belajar bahasa. Ruang-ruang ini sengaja ditampilkan terbuka, sehingga pengunjung betul-betul bisa melihat aktivitas warga Frankfurt berdialog, presentasi, dan ngobrol mengenai berbagai macam tema. Ah, seandainya di Jakarta lebih banyak ruang-ruang dialog seperti ini, niscaya kita tidak terpaksa berdialog lewat sosmed menjadi “netijen yang maha benar!” Ruangan ini menjadikan museum sebagai “museum hidup”, di mana kita bisa menyaksikan denyut nadi warga yang bergumul dengan masalah sosial terbaru: imigrasi dan inflasi. Benar kata Boris Johnson dalam bukunya The Churchill Factor bahwa yang paling menikmati demokratisasi Jerman setelah Perang Dunia II adalah warga Jerman sendiri --yang bisa merasakan kebebasan luar biasa dalam berpendapat dan berpolitik. Ciamik!

 

Display Frankfurt Masa Kini

 

Setelah berada di dalam ruangan cukup lama, waktunya menghirup udara segar! Kami berjalan-jalan di pusat Kota Frankfurt, sebuah jajaran gedung tinggi yang konon terbesar di Jerman, di tepi sungai Main --makanya dijuluki “Mainhattan” plesetan dari Manhattan di New York. Ini Eropa yang aneh menurut saya: biasanya ‘kan yang namanya Eropa itu sepi, toko-tokonya kecil, Sabtu setengah hari dan Minggu tutup, tokonya pun sombong bagaikan nggak butuh duit! Frankfurt beda! Mal-mal dibuat besar dengan parkiran 4-5 lantai di bawah tanah. Parkirannya makin dalam makin murah --kalau di Jakarta, semua bakal parkir di bawah! Lalu banyak cafe, restoran, dan ramai sekali. Saya melihat orang Frankfurt suka sekali menulis di bangunan --nampak puisi-puisi panjang dan sejarah suatu tempat ditulis di tembok, menunjukkan pentingnya literasi bagi orang Jerman. Maklum, Johann Wolfgang von Goethe lahir di sini! Alun-alun kecil ditandai patung tokoh terkenal, lagi-lagi khas utara di mana tidak terlalu banyak penggambaran tokoh agama. Semuanya bersih, rapi, cantik, dan…. baru! Ya… Frankfurt nyaris rata tanah waktu Perang Dunia II, sehingga bangunan yang nampaknya “kuno” ini sebenarnya baru!

 

Jajaran gedung tinggi di tepi sungai Main, Mainhattan

 

Alun-alun kecil ditandai patung tokoh terkenal

 

Seolah menjadi nyawa kota, ada tiga bangunan kuno utama di pusat Kota Frankfurt: Liebfrauen Frankfurt (Katolik) dan Alte Nikolaikirche (Protestan). Gereja katoliknya terkesan sangat kuno, gaya Abad Pertengahan, dan di bawah tanah ada jejak yang ditinggalkan oleh Charlemagne, tokoh pemersatu Eropa Barat yang meletakkan identitas dasar Bangsa Jerman dan Eropa. Di Alte Nikolaikirche, ada jejak lain lagi: Martin Luther (bapak pendiri Kristen Protestan) pernah berkhotbah di sini dan gereja ini menjadi bagian dari rute ziarah Protestan dari Worms sampai Eisenach. Dua gereja ini bersebelahan dengan damai! Lagi-lagi bukti Frankfurt sebagai kota toleran. Yang ketiga bangunan apa? Ini kunci toleransinya: Cafe Hauptwache! Lho, kok cafe? Ya, orang Frankfurt memilih melestarikan bangunan sebuah cafe kuno di tengah kota! Di antara gedung pencakar langit dan mal-mal besar, muncul sebuah bangunan khas restoran atau cafe Jerman, dengan jendela yang menyembul dari sisi atap, menjadi tempat makan, ngopi, dan ngumpul untuk semua kalangan. Di cafe kita semua basudara!

 

Liebfrauen Frankfurt

 

Alte Nikolaikirche

 

Kami sempat jalan kaki melihat Kota Frankfurt dari seberang Sungai Main, dan melewati jembatan besar untuk pejalan kaki yang entah kenapa bertuliskan huruf Yunani. Kami juga sempat jalan-jalan di mal bernama MyZeil: ini baru mal! Raksasa untuk ukuran Eropa, kira-kira sebesar Plaza Senayan. Banyak toko, restoran, dan di bagian atasnya ada food court! Dari food court kita bisa duduk di bagian teras dan memandang keindahan kawasan pusat bisnis Frankfurt dari ketinggian lantai bangunan. Murah meriah (cukup beli kopi dan duduk), dan indah! Tapi jangan salah, kami ke sana di hari kerja. Konon, kalau weekend tempat ini penuh sesak!

 

Suasana Frankfurt

 

Salah satu bangunan kuno di Frankfurt

 

Salah satu sudut Frankfurt

 

Bangunan ikonik di Frankfurt

 

Jembatan besar untuk pejalan kaki

 

Setelah puas menikmati kota, kami menuju satu tempat lagi. Inilah enaknya dipandu oleh ahli kuliner! Kami menuju supermarket yang namanya Frische Paradies (Fresh Paradise). Apa ini? Sebuah supermarket khusus bahan makanan kelas atas. Wow, ciamik! Ada jamur truffel segar, lobster, kepiting raksasa hokkaido, dry-aged meat, dan banyak lagi. Semuanya top markotop kelas satu! Sayangnya nama Indonesia belum banyak muncul di sini, masih kalah sama Thailand. Dan uniknya, tempat ini punya restoran yang bentuknya hanya bangku dan meja panjang, tapi waiting list berbulan-bulan. Pantas saja, hidangannya menggunakan bahan terbaik dari seluruh dunia!

 

Frische Paradies, supermarket kelas atas

 

Jamur truffel segar

 

Dry-aged meat

 

Ngomong-ngomong makanan, kok jadi lapar. Yuk, kita bahas makanan Frankfurt! Di bagian 2 ya…

 

Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.

 

 

Teks: Harnaz Tagore (Harry Nazarudin) Foto: Harnaz Tagore, Thomas Wolf www.foto-tw.de (foto utama)
Comment