ULAT SAGU, MAKANAN MASA DEPAN? 2021-12-04 23:25

Ulat sagu asap

 

“Saya pikir masa depan pangan dunia ada pada serangga,” kata Shailene Woodley, aktris yang juga aktif mempromosikan serangga sebagai pangan alternatif. Ya, jangan salah! Serangga meskipun bentuknya nggilani, memiliki kandungan lemak dan protein tinggi. Salah satunya adalah ulat sagu (Rhynchophorus ferrugineus), yang biasa disantap di Papua, salah satu wilayah penghasil sagu terbesar di Indonesia. Ulat ini adalah larva kumbang penggerek sagu. Konon dalam 100 gr ulat sagu terdapat energi 181 kcal dengan 13,1 gr lemak. Energi pada 100 gr beras adalah 130 kcal. Lumayan nih, energi dari mengunyah ulat sagu!

 

“Jadi batang sagu yang sudah ditokok (diambil patinya) dibiarkan begitu saja. Nah si kumbang itu makan sisa-sisa pati sagu dan meninggalkan larvanya juga,” kata Nuniek Maharani dari ANJ, sebuah perusahaan yang mengelola perkebunan sagu di Papua. Di siang itu, selain menyantap mie ayam berbahan sagu di Bueno Nasio Menara BTPN --restoran yang dikelola ANJ-- kami juga berkesempatan mencicipi ulat sagu, oleh-oleh dari teman yang baru kembali dari Papua. Rupanya, supaya bisa dibawa, ulat sagu ini diasap dulu supaya sedikit kering sehingga menjadi awet. Cara penyiapannya dengan digoreng, lalu disantap dengan nasi. Bagaimana rasanya?

 

Terus terang saya deg-degan. Maklum, mencicipi ulat sagu sudah lama jadi impian saya! Sebagai orang kimia, saya yakin betul isi ulat sagu adalah unsur C, H, O, dan N dan tidak ada bedanya dengan paha ayam atau ikan goreng. Tapi… bentuknya itu lho! Bulet ginuk-ginuk seperti logo Michelin, dengan dua mata (atau tengkorak?) besar yang keras dan tidak bisa dimakan. “Jangan lupa dilepas dulu kepalanya, baru masuk mulut,” kata seorang teman. Memang kenapa? “Kalau tidak nanti ulatnya bisa kabur ketika mau dikunyah!” jawabnya sambil tertawa. Tetapi memang, ulat sagu tanpa kepala nampak seperti tortellini saja. Tapi dengan kepala, kok jadi kebayang wajah yang sama dengan mandibula besar sedang mengunyah batang sagu. Jiah, nggilani!

 

Sesi foto ulat sagu

 

Ulat sagu asap

 

Lalu, saya coba lahap satu ekor ulat. Apa rasanya? Mula-mula, enak! Gurih sekali, dengan kulit tipis dan isi yang lembut, mengingatkan saya pada xiao long bao. Ada aroma khas yang menyeruak --“Aroma tuna asap!” kata Lina Sulimin, rekan ahli teh yang memang biasanya lidahnya tajam. Betul! Tapi sesudah itu, ada satu aroma menyeruak kuat --asam, mungkin dari lemak yang terkena asap, mengirim bau kuat nyaris sekuat duren ke otak. Hoek! Hampir saja si ulat beneran keluar lagi meskipun tanpa kepala! Untung bisa saya tahan. Rupanya, tidak boleh makan banyak-banyak, cukup satu dengan sesuap nasi!

 

Lalu saya berpikir soal masa depan ulat ini sebagai bahan pangan. Cukup menarik, mengingat kandungan gizi tinggi bisa dikembangkan dalam ruang kecil dengan jejak karbon yang jauh lebih rendah daripada memelihara seekor sapi. Apalagi jika bisa jadi produk andalan daerah penghasil sagu! Namun, cara memasaknya yang perlu dipertimbangkan ulang. Metode goreng akan menambah kuat aroma lemaknya --justru dengan direbus dan dihidangkan sebagai sup, akan tercapai rasa yang ideal. Kita bisa mengambil contoh bahan lain dengan aroma kuat --ikan pari misalnya-- yang juga diasap dan dimasak mangut. Sepertinya, mangut ulat sagu bakalan sedap rasanya!

 

Penulis dan Nuniek Maharani berpose di logo Bueno Nasio

 

Kalau belum biasa makan ulat, jangan kuatir! Bueno Nasio memiliki banyak menu lain yang semuanya berbahan sagu alias gluten free. Ada mie goreng sagu, dengan saus hoisin yang membuatnya sedap, serta tekstur mie sagu yang kenyal seperti agar-agar ternyata terasa enak juga. Ada mie ayam, dengan kulit pangsit goreng yang juga berbahan sagu. Bahkan ada soto mie, yang semuanya dibuat tanpa terigu! Berarti dari mie sampai kulit risolnya, semua dari sagu. Wow, sedap sekali! Memang, masuk akal juga kalau dipikir. Mengapa kita harus bangga makan spageti yang diimpor, padahal ada sagu asli Indonesia yang juga sedap dan bergizi? Yuk, kembali ke sagu!

 

Mie goreng sagu, salah satu hidangan Bueno Nasio

 

 

Sushi mie sagu, salah satu hidangan Bueno Nasio

 

Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.

 

 

Teks: Harnaz Tagore (Harry Nazarudin) Foto: Andre Kiagus, Harry Nazarudin, Nathalia
Comment