MENYINGKAP TABIR KABUT BALI UTARA 2021-01-18 11:15

Gunung Batur di balik Awan

 

Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar kata “Bali”? Pantai indah dan pura-pura menjulang tinggi? Sadarkah Anda bahwa apa yang Anda lihat itu rata-rata hanya berasal dari dua kabupaten di Bali: Badung dan Gianyar? Kalaupun Anda melihat Pura Ulun Danu Beratan di pecahan uang Rp50.000, itu ada di Kabupaten ketiga, yakni Tabanan. Sayangnya, baru tiga kabupaten ini yang paling banyak dijelajahi wisatawan, mungkin ditambah Kotamadya Denpasar. Padahal, Bali masih punya Negara, Buleleng, Karangasem, Klungkung, dan Bangli.

 

Baca juga: “Itinerary & Estimasi Biaya Eksplor Bali (Badung, Karangasem, Gianyar) 3 Hari

 

Buleleng, wilayah luas yang meliputi pantai utara Bali, sangat jarang dikunjungi kecuali wilayah Lovina. Kali ini, kami mencoba menjelajah ke sana, berangkat dari tempat kami menginap di Jimbaran, menuju ke Dapur Bali Mula di Desa Tejakula.

 

Perjalanan 104 km dari Ungasan ke Tejakula, targetnya selesai dalam waktu 3-4 jam. Kalau tidak pandemi, maka waktunya bisa molor sampai 5-6 jam karena macet, sehingga dianjurkan untuk menginap saja di Bali Utara untuk benar-benar menikmati suasana di sana. 

 

Bagian awal perjalanan adalah bagian yang sudah sering kami lewati: melalui gapura batas Kabupaten Gianyar yang dibuat dari bata merah dan berukir indah. Ketika kami sedang berkendara, istri saya melihat sesuatu. “Ini ‘kan tempat beli klepon yang enak itu?” katanya. Saya segera mengubah koordinat GPS, dan benar saja! Klepon Ida Bagus Nyoman Beratha, Jalan Kalantaka No. 14, sempat dideklarasikan oleh alm. Bondan “Mak Nyus” Winarno sebagai klepon terenak di seluruh dunia. Kami pun mampir dan mencicipi lagi klepon ini: rahasianya ada pada adonan kulit yang lembut dengan aroma daun suji, serta juruh (gula merah cair) yang dituangkan ke dalamnya satu per satu sebelum direbus. Cantik!

 

Klepon Ida Bagus Nyoman Beratha, Gianyar, terenak di dunia

 

Kleponnya sudah ada sejak 1980

 

Perjalanan berikutnya membawa kami melewati Ubud, menuju Kintamani. Setelah melewati Nasi Ayam Bu Mangku Kadewatan, wajah Ubud yang kita kenal perlahan berubah menjadi lebih sepi dan tradisional ketika kita melalui Sayan. Plang nama besar hotel dan resort, terukir cantik dan rapi di atas blok batu coklat, seolah mengundang rasa ingin tahu mengenai kemewahan apa yang ada di ujung sana. Sayang kami tidak punya waktu, dan melanjutkan perjalanan menanjak naik menuju Kintamani.

 

Dari Sayan, pemandangan kemudian berubah drastis. Permukiman padat lenyap, diganti padang-padang luas berbukit hijau, sesekali pohon cemara, mengingatkan saya pada wilayah Subang menuju kawah Gunung Tangkuban Parahu. Beberapa kios buah nampak menjajakan produk unggulannya: jambu merah, alpukat, dan jeruk. Di Bali, penjaja buah selalu menyusun buah dagangannya dengan bentuk kerucut seperti menyusun persembahan untuk pura. Hasilnya adalah display warna-warni yang menarik mata, sampai kami pun mampir mencicipi jeruknya. Manis dan sedap!

 

Baca juga: “Kapan Terakhir ke Monkey Forest?

 

Dari sini, pemandangan dan jalanan berubah lagi. Jalanan menikung tajam kiri dan kanan, permukiman dan kios buah menghilang sama sekali. Pohon cemara menghimpit di kiri kanan, sampai di suatu saat bak tabir terbuka, kami disambu kabut. Di balik kabut, nampak jajaran rumah dan pura menjulang tinggi. Kami sudah sampai di Kintamani!

 

“Di sana ada Pura Balingkang, yang memiliki sumur air --padahal posisinya 2.000 meter lebih dari permukaan laut! Dan kalau kami mempersembahkan sajen ke dalam sumur itu, sajennya bisa keluar di Sanur, Karangasem, dan wilayah lainnya!” cerita seorang teman, sementara kami hanya bisa membayangkan karena tidak sempat mampir ke Pura Balingkang yang baru kami lewati. Sebuah pasar dengan satu masjid nampak juga menyapa kami, sebelum jalanan berbelok ke kanan dan menukik lagi menembus kabut tebal. 

 

Dari situ, jalanan kecil, namun mulus. Sebuah pemandangan unik menyapa kami: karena kami persis berada di punggung tebing, di sebelah kanan kami terjurai tirai kabut yang pekat, tetapi di sebelah kiri nampak pemandangan cerah tak terhalang ke arah lereng, dengan mentari bersinar terang. Angin berembus kencang dari sisi kanan, membawa kabut yang langsung menguap lenyap ketika mencapai sisi kiri tebing, diterpa sinar mentari pagi. Cantik sekali.

 

Baca juga: “’Jamuan Kenegaraan’ Khas Bali yang Mengesankan

 

Mulai di Desa Madenan, ada simpangan yang menjebak. GPS mengarahkan kami ke kiri, karena itu adalah jalan utama menuju Singaraja. Tetapi teman kami sudah memberi arahan: hati-hati, di Madenan ambil kanan! Saya pun memutar setir dan menghadapi jalanan yang semakin tajam, sempit, dan mendaki. Tiba-tiba, setelah melalui sebuah titik tertinggi, jalanan berubah menukik menurun tajam.

 

Tidak mudah berkendara di sini: dalam 30 menit kami turun dari ketinggian 1.000 mdpl ke 0 mdpl alias pantai. Tikungan demi tikungan menyambut di depan, badan mulai pegal menahan badan saking curamnya. Tiba-tiba, istri saya kembali melihat sesuatu. “Itu fatamorgana?” tanyanya. Saya melihat ke depan: nampak dinding biru terpampang di depan kami, dengan sebuah kapal tanker yang sedang berlayar. Itu bukan fatamorgana, itu sungguhan! Saking curamnya, laut di depan nampak seperti tembok biru raksasa. Luar biasa!

 

Perjalanan ke Tejakula

 

Akhirnya, jalanan melandai, begitu kami tiba di Tejakula. Tebing-tebing berkabut nampak menjulang tinggi di belakang kami. Sulit dipercaya, kami baru saja dari sana, 30 menit yang lalu! Di sini, pemandangannya berbeda. Pura tidak dijaga oleh arca batu, tetapi patung-patung yang dicat dengan warna-warni cantik. Warna biru, merah, kuning, dan emas, nampak mentereng di sana-sini, membuatnya nampak lebih vibrant dari versi Ubud. Laut persis di sisi kiri jalan, ombak menyapa lembut pada pantai berbatu. Ada apa di sini? Selamat datang di Buleleng, tempat petualangan baru di Bali!

 

Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia.

 

 

Teks & Foto: Harnaz Tagore (Harry Nazarudin)
Comment