LEWAT DJAM MALAM DI MARABUNTA SEMARANG 2022-12-06 00:00

Marabunta di Semarang

 

Semarang yang dulu dikenal kumuh karena “kaline banjir”, kini berbalik menjadi banjir pujian. Kawasan Kota Tua Semarang, dengan deretan lampu ala gaslight di Eropa, jajaran trottoir bersih dan indah, serta bangunan-bangunan kuno yang terawat baik, menjadi hidden gem yang sangat layak dikunjungi. Rute favorit pengunjung biasanya jalan kaki dari Wingko Babat Cap Kereta Api (Jl. Cenderawasih No 14, 024 3542064) menuju Gereja Blenduk alias GPIB Immanuel Semarang, gereja Kristen tertua di Jawa Tengah.

 

Gereja Blenduk

 

Di tahun 1990-an, kawasan ini adalah kawasan yang kumuh dan berbahaya, nggak kebayang rasanya bisa jalan kaki ke Gereja Blenduk apalagi di malam hari. Padahal, sekarang di malam hari justru pemandangan lebih cantik! Bahwa sekarang pengunjung bisa berjalan kaki dengan nyaman di Kota Tua Semarang adalah keberhasilan dari usaha Pemkot Semarang dan Pemda Jawa Tengah dalam mewujudkan kawasan kota tua yang berbudaya. Top markotop!

 

Baca juga: "Pengalaman 'Gocapan' di Kota Semarang"

 

Menurut saya, salah satu kunci sukses pembangunan Kota Tua Semarang adalah pembagian tugas yang benar. Pemkot menyediakan jalanan, keamanan, dan trottoir bersih, lalu pihak swasta berkreasi membuat bisnis kuliner dan cafe yang berkelanjutan. Pelopornya adalah Spiegel: sebuah cafe dan restoran yang menempati gedung tua eks bangunan gudang zaman Belanda. Renovasi dilakukan dengan elegan, sehingga atap tinggi dan aksen warna tembaga langsung bak mesin waktu yang membawa kita ke masa lalu. Spiegel memang terkenal sebagai tempat ngopi, tapi makanannya juga boleh tahan. Salah satunya adalah pizza, dan saking populernya, sekarang ada outlet khusus untuk pizza-nya!

 

Interior Biga by Spiegel

 

Namanya Biga by Spiegel, posisinya persis di sampingnya. Kalau Spiegel bernuansa Belanda zaman mooi Indie, masuk ke Biga suasananya berbeda: kamu akan dibawa ke Milano, Italia Utara, menikmati desain minimalis dengan elemen 1950-an serta warna-warni berani khas negara sepatu ini. Lamat-lamat musik berbahasa Italia menambah sahihnya suasana Dolce Vita di sini --belum lagi aroma pizza matang dari oven batu di dekat kasir. Pizza-nya enak, gagrak Italia Utara dengan keju yang dominan dan aksen aromatik seperti truffel dan caprese. Apalagi kalau ditemani dengan Negroni --sebuah minuman khas Italia yang pahit manis menyegarkan.

 

Pizza dan Negroni di Biga by Spiegel

 

Bar di Biga

 

Aneka dessert di Biga

 

Namun ceritanya tidak hanya sampai di sini. Setelah makan malam, Kota Tua Semarang menyediakan banyak opsi untuk nongkrong dan menikmati musik --salah satunya adalah Marabunta! Namanya saja sudah keren: artinya semut merah besar, dan dua patung semut raksasa memang menyambut tamu dari atas gedung. Saya tidak berharap banyak: maklum namanya Kota Semarang “kaline banjir”, apakah sanggup menyediakan hiburan yang berkelas?

 

Gedung Marabunta tampak luar, ada patung semut raksasa menyambut

 

Begitu masuk ruangan, saya kaget. Bangunan beratap tinggi melengkung bak punggung kura-kura menyambut kami, yang kebesarannya saja sudah membuat saya melongo. Penerangannya cantik elegan, interiornya berkelas dan rupawan.

 

Interior Marabunta dengan atap tinggi melengkung

 

Lamat-lamat terdengar suara seorang biduanita dengan gaun terusan anggun, melenggok seolah berdansa tango dengan tiang mikrofon yang besar mengkilap cemerlang seperti mic-nya Deddy Corbuzier. “When marimba rythms start to play, dance with me, make me sway…” lirik lagu syahdu mengalun, mengingatkan saya dan teman-teman seangkatan pada iklan rokok zaman dulu. Selamat datang di Marabunta!

 

Biduanita di panggung Marabunta

 

Kami duduk di samping, sambil menikmati suasana. Astaga, ini Paris, Bordeaux, apa Monaco? Cantik benar! Menu makanannya ada yang Western, ada yang Indonesia. Oke, saya mulai memesan sambil dalam hati berbisik: kalaupun kurang cocok, ya sudah lah, suasana restorannya toh sudah cukup menghibur kami.

 

Salah satu sudut Marabunta

 

Plakat di Marabunta

 

Ternyata, kami mendapat kejutan lagi. Pangsit dengan truffel yang hadir sebagai hidangan pembuka, langsung menarik perhatian. Aroma kejunya otentik, dan truffel-nya baik dengan serutan maupun minyak jamur truffel, cukup terasa. Nah, sebagai orang Asia, pernah ‘kan kamu makan truffel tortelini dan berpikir: “Sepertinya bakal lebih enak ya kalau tortelini diganti pangsit?” --di Marabunta, mimpi ini menjadi kenyataan! Alih-alih tortelini yang kulitnya tebal dan isinya sedikit, kami mendapat pangsit yang kulitnya lembut tipis dan isinya daging banyak, cocok didampingi saus keju dan truffel. Wow, maknyus!

 

Pangsit truffel

 

Hidangan utamanya pun tak mengecewakan. Rawon sumsum sapi hadir dengan kuah rawon dipisah dan sumsum “sultan” dari tulang yang sudah dibelah dua sehingga tinggal dinikmati saja semua dosanya. Kuah rawonnya gagrak Jateng tentu saja, tapi pas, hangat, dan otentik.

 

Rawon sumsum sapi

 

Bebek goreng, dengan jujur tidak hanya menyajikan sambal matah tapi sambal mencit alias mangga muda, justru menjadikan hidangannya asli tanpa harus berpura-pura jadi Bebek Bali. Dagingnya empuk dan bumbunya pas!

 

Bebek goreng, nggak harus berpura-pura jadi Bebek Bali

 

Saya memesan soto betawi buntut --juga eksekusi sempurna, bahkan soto betawinya mlekoh medok dengan santan dan kentang plus tomat, cantik dipadu dengan nasi panas. Maknyus tenan semuanya, mantap!

 

Soto betawi buntut

 

Sate padang

 

Restoran Marabunta memiliki pengaturan yang unik. Dari pukul 12.00 sampai pukul21.00 restoran menyajikan musik santai, dan dilarang merokok di dalam ruangan. Jadi, cukup aman untuk santap keluarga. Mulai pukul 21.00 merokok diperbolehkan, dan pukul 22.00 musik akustik biduanita diganti dengan band pop hingar-bingar plus DJ sampai jam dua pagi. Alhasil, grup bapack-bapack seperti kami yang pukul 20.30 dengan santai menyeruput es teh tawar dan menyantap rawon, ketika pukul 22.00 (lewat djam malam istilahnya), berubah bak Cinderella menjadi grup oom-oom muda yang menikmati segelas bir sambil berjingkrak dan berteriak menyanyi Separuh Nafas-nya Dewa 19 sesuai komando band di panggung. Mudah-mudahan band-nya sudah bayar royalti ke Ahmad Dhani ya.

 

Band lewat djam malam di Marabunta

 

Marabunta, salahkah aku, bila aku bukanlah seperti aku yang dahulu?

 

Yuk, segera merapat!

 

Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.

 

 

Teks & Foto: Harnaz Tagore (Harry Nazarudin)
Comment