A TALE OF TWO RAWONS 2021-11-21 10:00

Rawon Jetak

 

Rawon, hidangan khas Jatim ini, bisa dibilang mirip dengan tomyam. Kelihatannya cuma semacam, tetapi di daerah asalnya rupanya ada berbagai jenis! Nah, berhubung saya baru mendapat kesempatan mencicipi dua jenis rawon sekaligus, maka saya akan bahas di sini. Yuk, ke Surabaya!

 

Rawon Abah Pangat mungkin bukan rawon “viral” di Surabaya, namun ini adalah rawon yang paling sering saya cicipi. Mengapa? Kalau Anda sama seperti saya, yang ke Surabaya untuk perjalanan dinas, maka Anda pasti kenal dengan penerbangan paling pagi dari Jakarta, yang tiba di Surabaya jam 7 pagi. Makan di mana? Bogajaya? Boleh, tapi ada pilihan menarik! Rawon Abah Pangat sudah buka jam 7 pagi, lokasi hanya 15 menit dari terminal, di kawasan ruko Sedati. Gagrak rawonnya adalah rawon empal suwir dengan krengsengan. Di sini, daging tidak dicampur dengan kuah, melainkan kuah rawon disajikan terpisah mirip kuah pada mie yamien. Dagingnya adalah empal alias baceman daging sapi yang disuwir halus, di Bandung namanya “gepuk”. Letakkan suwiran empal di atas nasi, lalu siram dengan kuah rawon panas. Syedap!

 

Rawon Empal Suwir Abah Pangat

 

Itu baru satu bagian saja. Di piring juga tersaji apa yang disebut “krengsengan” --bumbunya kalio, rasanya sedikit manis, dengan kuah kental. Isinya potongan dadu daging sengkel sapi dan kentang. Bumbunya yang herbal, membuatnya menjadi pendamping yang baik untuk kuah rawon dan empal suwir. Masih ada dua lagi andalannya: sambal pedas dan kecambah! Kecambah adalah semacam tauge dengan buntut pendek. Entah kenapa, rawon hanya cocok disantap dengan kecambah seperti ini, bukan tauge! Sambalnya pedas nendang, kemudian ada satu pairing yang sangat cocok dengan kuah rawon: telur asin bebek! Ketika kita ambil kuning telurnya yang gurih masir, lalu dicelupkan ke kuah rawon, lalu diseruput bersama dengan kuah rawon, wow! Ciamik hotmix!

 

“Bapak beruntung, dia masih buka!” kata teman saya yang tinggal di Pandaan. Rupanya, usaha saya menahan lapar karena skip makan siang, berhasil. Konon Rawon Jetak ini --posisinya di Dusun Jetak Pandaan-- jam bukanya sore jam 4 sampai habis, yang bisa berarti hanya 1-2 jam saja. Akhirnya kami parkir di lahan yang cukup luas, lalu masuk ke salah satu rumah yang digunakan untuk menjual rawon khas Pandaan ini.

 

Jajaran lauk di Rawon Jetak

 

Begitu masuk, saya sudah punya feeling, bakal mak nyus ini tempat. Meskipun sederhana, bersihnya luar biasa. Langit-langit bebas sawang, lantai bersih mengkilap. Kami menghadap ke meja saji, di mana kami memesan apa yang ingin disantap. Usus, babat, dan paru, yang nampak empuk ginuk-ginuk sangat seksi menggoda iman saya yang baru 2 minggu lalu berkunjung ke Laboratorium Prodia terdekat. Setelah angka kolesterol menghantui benak saya, akhirnya saya ambil keputusan bijak sesuai teori negosiasi: ambil saja tengahnya! “Mbak, daging empal satu, paru satu!” kata saya. Tentu saja dengan tempe mendol dan nangka yang nampak unik.

 

Dari pengalaman saya, belum pernah saya temui makan rawon pakai sayur nangka seperti di Jetak ini! Nangkanya kering lembut, sekilas teksturnya jadi mirip empal suwir. Di sini, nasi disiram dulu dengan kuah rawon, baru dibubuhi paru dan daging empal berukuran besar. Wow, nasinya enak! Pulen sempurna. Kemudian kuah rawonnya tarikannya lebih manis daripada yang di Surabaya, begitu juga dengan paru dan empalnya. Mendol --tempe yang dibumbui dan dibentuk tangan seperti kapsul-- ikut memberikan stempel “Malang” pada hidangan ini!

 

Dua piring Rawon Jetak

 

Ketika saya ke belakang, baru saya paham asal dari rasa lembut gurih dan tekstur halus dari hidangannya. Proses pemasakannya menggunakan tungku kayu bakar, termasuk menanak nasi! Nasi yang ditanak dengan kukusan bambu berbentuk kerucut ini memang lebih sedap, dan saya yakin proses masak dan gorengnya menjadi lebih lambat dan telaten, karena menggunakan api kayu bakar yang suhunya lebih rendah daripada api gas. Berbeda dengan versi Surabaya yang serba tegas, versi Pandaan ini sesuai dengan situasi alamnya: adem, dingin, santai… tapi sedap!

 

Dapur Rawon Jetak

 

Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.

 

 

Teks & Foto: Harnaz Tagore (Harry Nazarudin)
Comment