DILEMA OTENTIK MODERN KULINER KITA 2020-10-03 14:00

Soto mie dari Resto Bueno Nasio

 

Apakah makanan Indonesia yang otentik bisa dibuat modern? Dan kalau saking modernnya sampai sayur asem jadi sekotak agar-agar, apakah masih bisa disebut otentik? Diskusi ini menjadi menarik dan membuat saya kemudian berpikir.

 

Apa syaratnya makanan yang ‘otentik’? Menurut saya kuncinya satu: asosiasi. Artinya, kalau kita cicipi, maka otak kita otomatis mengasosiasikan rasa tersebut dengan makanan tertentu. Misalnya, meskipun bentuknya roti iris keras ala “bauernbrot” Austria, saya bisa melihat ada titik-titik hitam yang tidak biasa. Dan ketika digigit, ada aroma yang sangat familiar yang terbit dari seiris roti ini: aroma tape! Nah, asosiasi ini yang saya maksud. Ketika dengan gigitan pertama kita langsung tahu itu tape, bolehlah roti sourdough ini disebut tape modern!

 

Tekstur sourdough tape

 

Debryna Dewi, sang penanggung jawab sourdough tape ini, nampak tersenyum santai ketika kita mengobrol soal rasanya. Saya yang masih awam soal sourdough, baru paham bahwa sourdough bisa dimanfaatkan sebagai “penyimpan aroma” karena aroma bahan bisa tersimpan baik di dalam rongganya. Ada sourdough gudeg, sourdough rendang, bahkan sourdough nasi lemak! Tetapi, menurut saya, karena gas yang dihasilkan ragi sourdough adalah karbondioksida, maka aroma yang akan tersimpan sangat baik adalah aroma fermentasi yang menghasilkan karbondioksida juga --misalnya tape, peuyeum, atau oncom! 

 

Pengalaman kedua mengenai otentik modern datang dari sebuah rumah berdinding bata yang nyaman. Berhubung lokasinya tutup taat PSBB, saya datang sebagai tamu saja. “Coba, ini dicicipi, Kang!” kata Nova, sang pemilik rumah. Saya membuka kaleng, lalu menuangkan isinya ke gelas. Warnanya ungu mewah, dengan gelembung udara bak champagne eksklusif. Saya seruput isinya, wow! Sebuah sensasi unik tapi sangat familiar. “Ini bunga telang ya?” tanya saya, yang disambut anggukan nyonya rumah. “Ya, dengan aroma sereh...” sambungnya. Ada lagi kunyit asem dan rosella pandan --semuanya terbungkus dengan karbonasi! Sebuah sensasi luarrr biyasak! Aroma telang dan sereh meruap cantik, namun tidak diiringi rasa manis seperti biasa, melainkan didampingi fizz alias rasa kecut segar dari karbonasi. Karbondioksida, lagi-lagi berjasa dalam mengantar aroma sereh, telang, kunyit dan rempah lainnya ke lidah kita, dengan cara yang elegan namun selaras, low sugar pulak! Mantap! Ide minuman jamu berkarbonasi dari Suwe Ora Jamu ini menjadi contoh bagaimana rasa otentik dimuliakan oleh teknologi modern.

 

Soda Sereh Telang dari Suwe Ora Jamu

 

Kaleng soda sereh

 

Sumber lain, datang dalam bentuk semangkok soto mie. Lah, tahunya dari mana kalau itu soto mie? Lihat saja! Irisan daun bawang nampak jelas. Daging sapi rebus disajikan dengan diiris tipis-tipis. Tes ‘PCR’ yang mencari DNA soto mie langsung berkedip positif ketika ada risol --irisan kulit tepung seperti lunpia mini yang berisi bihun. Tapi, benarkah ini bihun? Kok rasanya sangat lembut, mudah patah, dan diameternya lebih besar dari biasanya?

 

Ini soto mie dari Resto Bueno Nasio

 

Bu Nunik dari Bueno Nasio segera menjelaskan. Bueno Nasio adalah restoran yang mempromosikan penggunaan sagu papua, sehingga kulit risol dan bihun dalam soto ini juga dibuat dari sagu! Itulah sebabnya rasanya unik. Kue sagu yang selembut salju juga kami cicipi, berbeda dengan “kue sagu” biasa yang kini dibuat dengan tepung tapioka. Dan beberapa hari sebelumnya, sagu papua dari Bueno Nasio berhasil kami olah jadi pempek untuk membuktikan bahwa pempek bisa dibuat dari 100% tepung sagu sungguhan, yang dahulu kala adalah tanaman pangan utama di Sumatera Selatan. Jadi, soto mie, kue sagu, dan pempeknya juga otentik --meskipun rasanya sedikit berbeda karena sagu papua.  Ini otentik, tapi bukan otentik modern, melainkan “otentik karuhun” --karena pemakaian sagu bukan modern tapi justru kembali ke akarnya alias “karuhun” dalam bahasa Sunda.

 

Baca juga: “Mari Mengenal Bakasang Siau. Maknyusss!

 

Jadi, bagaimana jawabannya dilema otentik modern untuk kuliner Indonesia? Ya, selama asosiasinya benar, bisa disebut otentik. “Sate maranggi ayam” tidak bisa dibilang “maranggi” kalau pas dicicip rasanya lebih mirip sate taichan. Dan untuk mendapatkan asosiasi yang benar, harus keliling Indonesia untuk mencicipi kuliner di tempat aslinya! Abis covid, yuk!

 

Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia.

 

 

Teks & Foto: Harnaz Tagore (Harry Nazarudin)
Comment