VIRTUAL TOUR, TOUR “HALU” SELAMA PANDEMI: TRAILER ATAU SPOILER? 2021-01-02 11:55

Belum bisa berwisata lagi ke luar negeri seperti ini… Virtual tour aja dulu…

 

Jetty, seorang peserta Virtual Tour Machu Picchu yang saya pandu bercerita, suaminya geleng-geleng kepala melihatnya sampai ikut trip “halu”, dan setelah selesai dia ditanya berapa biaya tripnya. Begitu dijawab 50 ribu, kontan sang suami berseru, “Kenapa nggak dari dulu aja ikut trip beginian….” Sementara peserta lainnya, Mbak Keke, juga dikomentari kurang lebih sama oleh suaminya, “’Kan sudah cukup ikut tur gini saja toh, nggak capek….” Wkwkwk….

 

Saya sendiri pada awalnya skeptis dengan virtual tour (kita singkat VT aja ya), sama skeptisnya dengan beberapa teman saat saya ajak ikut serta dalam VT perdana saya, Machu Picchu. “Emang ada ya orang yang mau bayar cuma buat lihat video atau slide show foto dan diceritain gitu doang? Nonton sendiri di Youtube ‘kan sama aja!”

 

Machu Picchu, keindahannya dihadirkan dalam virtual tour

 

Tapi hidup itu ‘kan jodoh-jodohan ya… Tiba-tiba saja ada ajakan menjadi tour guide VT Machu Picchu dan Bhutan dari Ira Lathief, penggagas Wisata Kreatif Jakarta (sebelumnya dikenal dengan Jakarta Food Traveler). Raiyani Muharramah, kontributor MyTrip-lah, yang sudah lebih dulu jadi tour guide VT yang mengenalkan. Saya pun menyanggupi.

 

Flyer VT Bhutan, kolaborasi MyTrip dan Wisata Kreatif Jakarta

 

Membuat materi VT sangat melelahkan, tapi sungguh menyenangkan! Menggiring saya kembali lagi ke tempat-tempat itu. Lebih menyenangkan lagi saat di akhir tur mayoritas peserta yang adalah teman-teman ngetrip saya, menyatakan kepuasannya, dan kami pun jadi punya hobi baru: ikut trip “halu” alias VT, termasuk ke antariksa! Haha…

 

Foto bersama saat Virtual Tour Bhutan yang juga ‘dihadiri’ travel agent dari Bhutan

 

Dan, demi merasakan seolah-olah pergi bersama, kami pun membuking VT private group! “Mama sampe segitunya kepengen pergi sama temen-temennya,” begitu komen anak Mbak Yanti, salah satu peserta juga. Pokoknya heboooh…. Wkwkwk….

 

Selain memanfaatkan VT sebagai “ajang” pergi bersama, kami juga melihat VT sebagai sebuah kesempatan langka yang sulit sekali atau bahkan nggak bisa diwujudkan dalam real tour. Maka berbondong-bondonglah kami daftar untuk “pergi” ke Mekkah, baik yang Muslim maupun non-Muslim.

 

Kangen ngetrip bersama seperti ini, jadilah daftar VT untuk private group

 

YANG MENOLAKNYA….

Sementara saya dan teman-teman menjunjung VT sebagai cara jitu mengobati kerinduan ngetrip, bahkan kami sampai halu berjamaah (mengingatkan “jam keberangkatan”, janjian ketemu di bandara, menyiapkan paspor, dlsb), di luar sana ternyata ada juga yang pikirannya kebalikan 180 derajat!

 

Sudah rindu janjian ketemu di bandara

 

“VT cuma bikin tambah kepengen pergi jalan-jalan, sedangkan kondisi saat ini nggak memungkinkan pergi, buat apa?” Mmm…  bagi kami VT itu obat, buat mereka racun atau penggoda yang harus dihindari, hehe….   

 

Dan sementara kami tergoda pergi ke Bosnia, Slovenia, Estonia setelah melihat-lihat teaser-nya atau katakanlah trailer-nya lewat VT, ealaah ternyata ada juga yang berpikir terbalik, “Saya nggak mau dibocorin tentang tempat-tempat yang ingin saya datangi kayak gimana. Justru saya pengennya surprais aja datang ke lokasi lihat langsung.” Jadi seperti nonton film ya, nggak mau dibocorin dulu ceritanya. Nggak mau ada spoiler. OK, paham, walaupun cukup mengejutkan buat saya! Wkwkwk….

 

Salah satu sudut cantik Slovenia

 

Bagi kami VT menarik, karena sama sekali beda dari nonton Youtube yang nggak bisa interaktif langsung, menarik terutama kalau guide-nya punya kemampuan story telling yang baik, tapi bagi para penolak, ternyata ada alasan yang nggak terpikirkan sama sekali, at least oleh saya. Begini nih: “ VT nggak menarik karena hanya mendengarkan, nggak bisa merasakan langsung, nggak bisa foto-foto, nggak bisa ngerasain makanan-makanannya, dan nggak bisa pamer di medsos!” Eaaaaaa…..

 

Baca juga: “Virtual Tour, Fenomena di Masa Pandemi. Bagaimana Masa Depannya?

 

APA SIH VIRTUAL TOUR ITU?

Menurut definisi yang saya temukan di internet, virtual tour adalah simulasi dari lokasi yang ada, biasanya terdiri dari urutan video atau gambar diam, juga dapat menggunakan efek suara, musik, narasi dan teks. Sebelum mewabah virtual tour (VT) atau wisata virtual seperti sekarang ini, VT lebih diasosiasikan pada tur panorama yang biasanya berupa foto 360 atau video pengenalan sebuah tempat (umumnya resor), yang di-attach di website resor/tempat tersebut.

 

Saya sendiri nyaris terjebak membuat materi yang mirip webinar, untung disadarkan oleh Ira Lathief dari WKJ dalam brief beberapa hari sebelum saya “manggung”. Mungkin karena saya sedikit banyak terpengaruh oleh beberapa VT gratis yang pernah saya ikuti jauh sebelumnya, yang hanya menyajikan foto-foto diam dan bahkan slide power point sambil si pembicara menjelaskan.

 

Saat VT Machu Picchu, kolaborasi WKJ dan MyTrip

 

Akhirnya saya pun membuat VT yang seolah-olah membawa peserta melakukan perjalanan virtual sesuai itinerary day by day bahkan spot demi spot, termasuk ada video perjalanan dari tempat A ke lokasi B. Bahkan saya pun iseng melontarkan seruan-seruan seperti “Kopernya jangan ketinggalan ya….” atau “Jangan lupa pake jaket, tempatnya dingin…” –yang membuat ada yang bilang “trip halu” hahaha….

 

Baca juga: “Saatnya Membuka Peluang Baru Pariwisata Indonesia: Wisata Berbasis Experience

 

Baca selanjutnya tentang fenomena VT dan masa depannya di sini.

 

 

Teks: Mayawati NH (Maya The Dreamer) Foto: Ira Lathief (Wisata Kreatif Jakarta), Mayawati NH, Novindra Christian, Priyo Tri Handoyo, Tejo (peserta VT Bhutan), Wisata Kreatif Jakarta, www.slovenia.info
Comment