SODADE, RINDU BERKUNJUNG KE KAMPUNG TUGU 2023-05-17 18:00

Gereja Tugu di Kampung Tugu, wisata budaya di Jakarta

 

Kalau mendengar “wisata budaya”, pasti pikiran kita melambung ke Yogyakarta atau Bali. Padahal, di Jakarta juga ada! Misalnya, mengunjungi Kampung Tugu di kawasan Semper, Jakarta Utara. Pengalaman ini dilakukan bersama rekan-rekan Komunitas Jalansutra dan bisa dipesan dengan mengirim pesan langsung ke akun Instagram @krontjongtoegoe. Apa sih Kampung Tugu itu?

 

Baca juga: “Alternatif Wisata di Jakarta: Kampung Tugu dengan Tradisi Unik, Musik Keroncong dan Kuliner Khasnya

 

Menurut catatan sejarah, kontak pertama kali antara bangsa-bangsa Barat dengan Nusantara terjadi melalui Bangsa Portugis. Dari merekalah kita mendapat kata-kata seperti “jendela”, “sepatu”, dan “keju”. Bahkan ikan asin, yang sudah mendarah daging dalam budaya kuliner Nusantara, konon berasal dari Bangsa Portugis sebagai sumber protein dalam perjalanan di kapal dengan nama “bacalhau”. Di mana mereka mendarat? Tentu saja di Sunda Kelapa, dan bermukim di Batavia alias Jakarta. Ya, bahkan sampai hari ini, ada jalan “Roa Malaka” di Jakarta Kota yang mengacu pada sebutan Portugis untuk jalan ini. Sejarah Portugis di Nusantara sudah berumur lebih dari 500 tahun!

 

Baca juga: “Merasakan Langsung Meriahnya Rabo-Rabo di Kampung Tugu Jakarta

 

Selama 500 tahun inilah berlangsung sejarah penghuni Kampung Tugu. Arthur Michiels, sang tuan rumah, dengan semangat menceritakan kisah nenek moyangnya: bagaimana mereka datang setelah melalui Malaka, bagaimana mereka pindah ke muara Kali Tugu yang kemudian menjadi lokasi tinggal keluarganya sampai sekarang. “Dulu, di sini banyak tanah kosong, berupa kebun dan hutan,” kata Arthur, satu hal yang kini sulit dipercaya melihat padatnya kawasan ini sekarang. Namun, tidak semua jejak wilayah ini menghilang ditelan kemajuan Jakarta. Ya, masih ada keluarga Michiels yang melestarikan budaya Portugis!

 

Bang Arthur Michiels menjelaskan sejarah Kampung Tugu

 

Pintu masuk rumah keluarga Michiels, salah satu keturunan Portugis di Kampung Tugu

 

Setelah Bung Arthur selesai, giliran Bang Andre yang bercerita soal keroncong Tugu. Ternyata, musik keroncong yang tersohor itu, berasal dari Tugu! Konon, tercetusnya musik ini berasal dari kerinduan warga Tugu akan musik Portugis, dan keterbatasan alat-alat musik yang ada. Akhirnya, timbullah seni musik dengan alunan sederhana, berritme pendek sehingga bisa mentoleransi sedikit suara yang kurang sempurna akibat alat yang terbatas. Namun, alunannya tetap mendayu merdu! Dari sinilah musik keroncong kemudian berkembang ke Jawa Tengah dan dipopulerkan sebagai genre khas Indonesia keluar negri. Tak heran, kalau Bung Andre dan grupnya Krontjong Toegoe sempat diundang ke mancanegara, bahkan sempat main di Istana Negara! Mantap!

 

Bang Andre Michiels mengisahkan pelestarian keroncong Tugu

 

Setelah mendengarkan sejarah Tugu di Rumah Michiels, kami berjalan kaki menuju titik budaya penting di sini: Gereja Tugu. Gereja yang dibangun tahun 1748 ini menjadi tonggak budaya Portugis: dari jendelanya yang besar-besar, kusen dan ukuran pintu yang raksasa, sampai desain mimbar dan interior yang unik --mengingatkan saya pada bentuk gereja-gereja di Malaka, Malaysia. Kita bisa berfoto di loncengnya serta berpose di depan teras gereja. Menarik! Tapi, ada yang lebih menarik sudah menanti: makan siang!

 

Bagian dalam Gereja Tugu

 

Lonceng gereja

 

Foto bersama di depan Gereja Tugu

 

 

Siang itu, dapur keluarga Michiels sudah menyiapkan hidangan khas Tugu untuk kami. Yang pertama adalah ikan tongkol rica, dengan penampilan yang sangat menarik. Kedua adalah hidangan yang bernama “spet” --mirip dengan semur. Semur sebenarnya merupakan hidangan kuno. Asal katanya dari “smoor” Bahasa Belanda yang artinya rebusan. Sejarahnya bisa dirunut sampai ke sup goulash ala Hungaria. Penggunaan bumbu pedas (mungkin star anise atau merica) dalam spet mengingatkan pada jejak peradaban Nyonya di Malaka: mirip dengan hidangan berbasis “go hiong” atau “five spices”. Tapi di sini dominan gurih, yang membedakannya dengan semur Betawi yang cenderung manis. Sederhana, tapi menarik! Kemudian, ada gado-gado --salah satu hidangan khas Betawi yang juga berasal dari masyarakat Portugis. Bedanya, gado-gado di sini menggunakan sedikit santan, sehingga bumbunya mirip “pical sikai” di Bukittinggi. Dengan irisan telur rebus dan emping, rasanya gurih dan unik! Beda dengan gado-gado pengantin maupun gado-gado Bandung. Sedap!

 

Dapur keluarga Michiels sudah menyiapkan hidangan khas Tugu

 

Ikan tongkol rica

 

Spet daging sapi, mirip  semur

 

Gado-gado khas Tugu

 

Tuan rumah rupanya belum puas menjamu kami. Ada lagi satu kudapan unik bernama ketan unti yang disajikan. Bentuknya menarik: dibungkus rapi dengan daun pisang, warna putih-coklat, mirip nasi uduk tapi bukan. Konon, ketan unti ini dulu merupakan sajian untuk kedukaan, berhubung praktis dan mengenyangkan supaya tidak merepotkan yang berduka. Rasanya unik! Untinya tidak manis, melainkan sedikit gurih seperti ada aroma coklatnya. Tampang Asia, rasa Eropa! Menarik!

 

Ketan unti, tampang Asia, rasa Eropa

 

Belum habis takjub kami dengan makanan yang disajikan, sebuah lagu terdengar mengalun merdu. Rupanya, grup musik Krontjong Toegoe sudah siap menghibur peserta dengan live irama keroncong. Lagu Bengawan Solo mengalun merdu, dinyanyikan oleh salah satu peserta tur. Memang, ada perbedaan antara iringan keroncong ala Jawa dengan keroncong Tugu yang kami dengar. Yang ini lebih sederhana, namun tak kalah merdu. Ketika Krontjong Toegoe memainkan lagu keroncong Betawi seperti Kapan-Kapan, barulah jiwa Betawinya muncul dan terdengar lebih cocok dengan alunannya. Rupanya, musik ini memang berlanggam Betawi, seperti lagu Selendang Mayang dan Jali-jali.

 

Bendera Krontjong Toegoe

 

Request lagu Portugis dong!” kata seorang peserta, yang dijawab dengan wajah agak bingung dari pemusik. Bung Andre memberi komando, diskusi sebentar, lalu mulai. Wow! Muncullah sebuah irama sendu, yang langsung mengharu-biru sanubari pendengarnya. Bahkan yang sedang ngobrol seru, mendadak berhenti dan menyimak irama ini. Sebuah panggilan syahdu, bagai diiris sembilu. Rupanya, ini adalah lagu Portugis berjudul Sodade yang dinyanyikan biduanita Juliette Angela:

 

Sodade, Sodade, Sodade

Dess nha terra São Nicolau…

 

Rindu, Rindu, Rindu

Pada tanah airku São Nicolau…

 

Juliette Angela menyanyikan Sodade

 

Pemain musik dan penyanyi seolah dalam keadaan “trance”, mengulang dentingan gitar dan betotan bas, dan membawa pengunjung ke masa 500 tahun lalu. Di mana sekelompok kecil keluarga Portugis, di tengah hutan Batavia Utara, mengalunkan melodi sendu, ungkapan rindu akan tanah air, rindu akan asal-usulnya. Seolah melodi ini bisa meringankan sedikit beban hidup mereka, baik dari tekanan pemerintah Belanda maupun dari truk-truk kontainer di samping sana.

 

Sodade… Sodade… Sodade…

Rindu… Rindu… Rindu…

 

Sodade, artinya rindu akan sesuatu yang kita cintai tapi sudah tiada. Yang penasaran dengan lagunya, silakan tonton di link ini: https://www.youtube.com/watch?v=f9D1gQVzvd0

 

Kalau rindu berkunjung ke Kampung Tugu, masih bisa! Yuk!

 

Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.

 

 

Teks & Foto: Harnaz Tagore (Harry Nazarudin)
Comment