MERASAKAN LANGSUNG MERIAHNYA RABO-RABO DI KAMPUNG TUGU JAKARTA 2022-01-05 20:45

Rabo-Rabo, keroncongan dari rumah ke rumah

 

Kesampaian juga saya menyaksikan secara langsung acara Rabo-Rabo di Kampung Tugu, Semper, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Berawal 17 Januari 2021 lalu saya mengikuti virtual tour-nya, mendengarkan cerita dan menonton video perayaan Tahun Baru khas Kampung Tugu ini. Dan akhirnya 1 Januari 2022 ikut real walking tour-nya juga bersama Ira Lathief dari Wisata Kreatif Jakarta. Benar-benar seru dan unik! Nggak nyesel bela-belain datang.

 

Pukul 10 pagi berkumpul di Gereja Tugu alias Gereja Protestan Tugu yang dibangun tahun 1748, dan telah ditetapkan menjadi Benda Cagar Budaya pada tahun 1999. Kami sempat diperkenankan melihat dan memotret sejenak bagian dalam gereja sebelum misa pagi itu dimulai.

 

Misa 1 Januari 2022 di Gereja Tugu

 

Ira Lathief pun menceritakan sejarah Kampung Tugu sambil kami duduk di kursi khas Betawi di teras rumah Pak Pendeta di dalam komplek gereja. Sejarah lengkapnya bisa dibaca di sini. Paling menarik bagi saya adalah bahwa komunitas orang Portugis yang beranak-pinak di Kampung Tugu ini memiliki bahasa sendiri --bahasa Portugis Kreol, baju khas sendiri (bagai baju Eropa tapi beda), dan mereka menciptakan genre musik sendiri yang pada akhirnya dikenal sebagai musik keroncong. Ditegaskan oleh Bang Arthur Michiels (baca: Mihils), salah satu tokoh Kampung Tugu yang punya grup keroncong, bahwa banyak orang salah menduga musik keroncong berasal dari Portugis. Padahal tepatnya dari Kampung Tugu. Saat mereka berkesempatan manggung tahun 2016 di Portugis, bahkan orang-orang di sana pun takjub begitu tahu ada jenis musik ini.

 

Duduk di kursi khas Betawi

 

Kunjungan pertama kami pagi itu adalah ke komplek pemakaman Kristen yang ada tepat di samping bangunan gereja. Mayoritas kuburannya memang tidak terlalu tua, tapi ada satu makam kuno yang bentuknya beda sendiri, bentuk piramida. Tertulis “Pendeta/Guru Leimena”, sayang tanpa ada keterangan apa-apa lagi termasuk angka tahun.

 

Makam kuno berbentuk piramida di antara makam-makam lain

 

Masih di dalam komplek gereja, kami diperlihatkan lonceng gereja tua yang masih asli, dan ditetapkan sebagai benda cagar budaya juga.

 

Lonceng gereja tua

 

Juga Taman Bacaan Ikatan Keluarga Besar Toegoe yang sayangnya sudah tak terurus. Prasasti peresmiannya 7 Juli 2007 ditandatangi oleh Duta Besar Mozambique, Portugal, Timor Leste dan Brazil.

 

Taman Bacaan yang sudah tak terurus

 

Setelah itu barulah kami melangkah ke Kampung Kristen yang dipisahkan oleh sungai kecil dari lahan komplek gereja. Sungai itulah yang dulunya menjadi rute perahu yang dipakai nenek moyang orang Tugu saat pertama kali datang dari pusat Batavia (Kota Tua) ke kampung ini. Dulunya kampung ini masih berupa belantara, dan belum ada penghuninya.

 

Sungai kecil yang memisahkan Kampung Kristen dengan komplek gereja

 

Kampungnya kecil saja, berupa gang-gang, tidak kumuh tapi juga tidak asri. Memang selintas sama saja dengan kampung-kampung pada umumnya yang tersisa di sudut Jakarta. Hanya jika jeli kita bisa menemukan simbol-simbol Kristen di bagian luar rumah. Ada juga satu rumah cukup besar yang telah alih fungsi menjadi gereja, yang mengumandangkan lagu-lagu rohani lewat toanya saat kami lewat. Di satu sudut terlihat satu lahan yang telah menjadi kandang kontainer. Menurut Ira Lathief, sayangnya memang, kampung ini sudah dikepung tumpukan kontainer. Banyak yang sudah menjual tanahnya kepada pihak-pihak yang membutuhkan lahan untuk menampung kontainer ataupun alat-alat berat. Sehari-harinya jalan raya di kampung ini juga disarati truk-truk besar yang bergerak menuju pelabuhan. Begitulah….  

 

Kandang kontainer di dekat Kampung Kristen

 

Kami diajak mampir ke rumah Oma Deny (76) dan Oma Mintje Hendriks (78), warga asli Kampung Tugu. Keduanya masih bugar dan lancar bercerita, terutama Oma Deny yang nama aslinya Adriana.

 

Oma Mintje, kiri; Oma Deny, kanan

 

Menjelang jam makan siang, tibalah kami di salah satu bagian tur yang paling ditunggu: icip-icip makanan khas Tugu. Kami berjalan kaki tak sampai 1 km ke salah satu rumah orang asli Tugu, Ibu Ena Quiko. Sudah disiapkan 4 macam menu khas Tugu di meja yang diletakkan di pendopo depan rumahnya, yang biasanya dipakai untuk latihan keroncong. Ada papan bertuliskan “Keroncong Tugu Cafrinho” beserta dua gitar yang sudah tak terpakai digantung di kiri kanannya.

 

4 macam menu disiapkan

 

Ibu Ena menjelaskan dengan fasih tiap menu. Gado-gado siram bumbu kacangnya beda dari gado-gado yang biasa kita kenal. Kaya rempah, ada kemiri, cabe, bawang merah, bawang putih, serta santan; kesemuanya dimasak, bukan cuma dicampur dan diulek. Pas saya coba, memang rasanya beda banget!

 

Gado-gado siram

 

Yang kedua kue apem kinca atau apem putih. Warna kue apemnya putih, tampak biasa. Tapi coba dengar dibuat dari apa saja apemnya? Tepung beras, tepung terigu, dan nasi! Kincanya dari gula dan santan.

 

Apem kinca

 

Lalu ketan unti. Ketan yang ditabur unti atau parutan kelapa dengan gula merah. Bahannya biasa, tapi momen disajikannya makanan ini yang nggak biasa, yaitu saat upacara perkabungan. “Buat nemenin begadang,” jelas Bu Ena.

 

Ketan unti

 

Dan juaranya adalah: kue pisang udang! Sejak mendengar nama kue yang satu ini saat virtual tour, saya sumpah mati penasaran! Bentuknya segitiga, dibungkus daun pisang. Adonan luarnya ya mirip kue pisang, cuma ini nggak manis melainkan sedikit asin. Sedangkan isinya tentu bukan pisang, melainkan campuran pepaya muda, udang segar (bukan ebi), lada, bawang goreng, dan gula yang telah diolah. Ini bener-bener endessss, dan lain daripada yang lain!

 

Kue pisang udang, berbentuk segitiga

 

Begini bagian dalam kue pisang udang

 

Puncak acara Rabo-Rabo tentu adalah musik keroncong yang dimainkan dari rumah ke rumah dengan ‘kewajiban’ penghuni rumah mengutus satu orang untuk mengekor atau mengikuti rombongan ke rumah berikutnya. Kebayang betapa meriahnya waktu dulu sebelum pandemi acara ini digelar secara full version seharian penuh. Tahun ini Rabo-Rabo hanya dilakukan secara simbolis. Hanya 3 rumah dikunjungi termasuk rumah tempat start-nya.

 

Kami pun pertama-tama berkunjung dulu ke rumah milik keluarga Michiels untuk menonton Krontjong Toegoe yang dipimpin kakak beradik Arthur dan Andre mempersembahkan beberapa lagu. Lagu pertama, Gato do Mato, langsung membius kami. Artinya kucing hitam, tapi maksud lagu itu adalah tentang gadis cantik yang hendak dilamar. Lagu Tanah Tugu yang pernah memenangkan Anugerah Musik Indonesia tahun 2019 kategori Karya Produksi Keroncong Terbaik juga dilantunkan.

 

Arthur dan Andre Michiels

 

Krontjong Toegoe memainkan beberapa lagu di teras rumah keluarga Michiels

 

O ya, sebelum rombongan bergerak jalan kaki ke rumah kedua, beberapa mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia menyerahterimakan website yang mereka buat, www.kampoengtoegoe.com/homepage kepada perwakilan komunitas Kampung Tugu.

 

Serah terima website Kampoeng Toegoe

 

Rombongan berjalan kaki ke rumah kedua yang disinggahi

 

Di rumah kedua suasana tambah meriah. Rombongan musik memasuki rumah sambil bernyanyi. Lalu mereka saling bersalaman mengucapkan Selamat Tahun Baru. Sementara musik dan lagu terus dimainkan, beberapa orang menari-nari, bercengkerama dan mengedarkan minuman termasuk bir.

 

Saling mengucapkan selamat Tahun Baru


Lagu terus dilantunkan

 

Rumah terakhir yang disambangi adalah rumah Pak Pendeta di dalam komplek Gereja Tugu. Kami pun berkesempatan masuk kembali ke dalam gereja yang sudah kosong yang dihiasi pohon Natal besar di bagian depannya.

 

Suasana di dalam gereja

 

Hari Minggu 9 Januari 2022 akan digelar acara Mande-Mande (baca: Mandi-Mandi) atau Pesta Mandi Bedak di rumah keluarga Yunus-Thalib, rumah yang dijadikan gereja di Kampung Kristen. Ini adalah puncak acara sekaligus penutup perayaan Tahun Baru di Kampung Tugu. Bakal lebih meriah tentunya. Silakan menghubungi admin Wisata Kreatif Jakarta jika ingin bergabung sebagai peserta tur untuk mengikuti acara di Kampung Tugu ini, no HP: 0812 9822 9129. 

 

 

Teks: Mayawati NH (Maya The Dreamer) Foto: Ira Lathief, Mayawati NH, Dok. Wisata Kreatif Jakarta
Comment