AMAZING WONOSOBO (4-TAMAT) BERTEMU SATE KERTEK, GEBLEK DAN GUDEK 2023-01-03 20:10

Gudeg Mbak Nanik

 

Dalam rangkaian perjalanan ke Wonosobo dan Dieng, kami sempat belanja oleh-oleh khas Wonosobo di Toko Matahari di Jl. Pasar II No 19A, dan berjalan sore menikmati suasana pasar Kota Wonosobo. “Kios di depan itu, pemiliknya adalah cucu Teh Sin Nio, pejuang kemerdekaan,” kata sahabat kami. Wow, legend! Tapi, waktu kami tidak banyak. “Jam lima sore ya, kita meluncur makan malam…” Siap!  Lokasinya agak jauh keluar kota, meskipun untuk hitungan Jakarta ini hanya perjalanan ke “Kopi Duyung” terdekat.

 

Toko oleh-oleh Matahari di Pasar Wonosobo

 

Jejeran kudapan di Toko Matahari

 

“Parkir di sini…” kata sahabat tersebut, di depan bengkel, tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Hanya ada plang kecil di depan gang: Sate Kertek Pak Dal. Kami pun masuk menyusuri gang kecil, khas banget tayangan “hidden gem” di Insta Story. Jalanan sempit beton, kanan kiri nampak jajaran rumah padat dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang membuka warung, ada yang buka barbershop dengan lampu neon dan sofa yang nampak hangat dan nyaman. Kami berjalan masuk menuju sebuah rumah dengan plang “Sate Ayam Kampung Khas Kertek Pak Dal” (0286 3329496). Saya mengamati terasnya, hanya ada satu ceret di atas anglo. Di mana panggangan satenya?

 

Misteri ini terjawab ketika bapaknya keluar, mengangkat ceret, menambah arang, lalu menggunakan anglo untuk memanggang sate. Ada dua jenis: sate ayam kampung (daging dan kulit) dan sate dada ayam (daging saja). Heran, anglo segini cukup untuk memanggang sate!

 

Memanggang sate di atas anglo di Sate Kertek Pak Dal

 

Dua jenis sate di Sate Kertek Pak Dal

 

Dan rupanya hidangan ini sangat amat unik. Pertama, dihidangkan lontong, kemudian kuah kaldu ayam santan. Lho, kok kaldu ayam? Kemudian, disajikan satu piring cocolan berwarna hitam tapi bukan kecap. Pas dicocol, rasanya asam, persis seperti cocolan cireng. Lah, gimana makannya? Rupanya lontong disiram kuah di mangkok, lalu disantap bersamaan dengan sate yang dicocol bumbu cireng tadi. Daging ayamnya tarikannya manis, mirip sate selatan Jawa seperti sate Martawi Cilacap. Cocolannya yang asam pedas membuat rasanya melonjak tajam, langsung nyesss ketika ditimpali dengan seruputan kuah kaldu ayam gurih panas dan suapan lontong yang lembut. Aih, ciamik, unik sekali! Wajib coba ini! Jangan lupa telepon untuk pesan dulu ya!

 

Lontong diberi kuah kaldu ayam santan di Sate Kertek Pak Dal

 

Hidangan komplit di Sate Kertek Pak Dal

 

Rupanya, malam itu masih ada satu sajian lagi yang wajib coba. Kami meluncur ke RM APO di Jl. Ajibarang Secang No.139). Ini sekalian memenuhi selera anak-anak yang suka mie dan nasi goreng. Berbeda dengan Restoran Asia, APO ini Rumah Makan… ya makannya di rumah pemiliknya! Sisi luarnya ruang makan, tapi sebelahnya ruang tamu pemilik rumah: ada lemari pajangan, bahkan foto wisuda dan foto keluarga. Lalu dalamnya lagi, dapur! Semua dimasak satu per satu, dan menu khas di sini namanya Klenyer. Klenyer ini menggunakan jeroan ayam, wortel, bakso ikan, dan kembang kol, ditumis berkuah nyemek warna kemerahan mirip kamar bola. Menarik, gurih dan sedap! Mie goreng dan mawut di sini konon juga direkomendasikan. Top!

 

Kleyer di RM APO

 

Keesokan paginya, kami sudah siap pagi-pagi untuk mencicipi dua hidangan lagi sebelum meninggalkan Wonosobo. Pertama: Gudeg Mbak Nanik, Wonosobo Timur. Kami mengulangi ritual seperti Sate Kertek: parkir, lalu masuk gang, berbelok kiri dan kanan, sampai di satu rumah yang menyimpan banyak kayu bakar. Inilah Gudeg Mbak Nanik, statusnya juga “rumah makan”, belinya di dapur dan makannya di ruang tamu! Baru mau memilih lauk, sang ibu membawa sepanci makanan mirip bakso goreng tapi putih. “Ini khas Wonosobo namanya Geblek.” (Baca dengan e pepet). Wow, menarik! Ternyata sejenis cireng, tapi rasanya mirip dengan pilus Tegal yang kuat daun bawangnya. Sayangnya, gudegnya sudah telas alias habis. Tapi saya masih bisa mencicipi opor dan kreceknya, dengan rasa khas Wonosobo: subtle, lembut, namun pakemnya kuat dan otentik. Apalagi dimasak dengan kayu bakar, disantap sambil melihat foto wisuda anaknya Mbak Nanik. Mantap!

 

Dapur Gudeg Mbak Nanik

 

Tungku dan kayu bakar di dapur Gudeg Mbak Nanik

 

Geblek

 

Krecek di Gudeg Mbak Nanik

 

Satu lagi, kami menuju tempat makan prasmanan yang populer di Wonosobo, namanya Warung Blok M di Jalan Pangeran Diponegoro. Ini sebenarnya mirip warteg, tapi hidangannya khas Wonosobo. Khasnya di sini: ada drink station, gelas-gelas yang siap dituangi teh panas, mau manis atau tidak bisa disiapkan sendiri. Lalu, ada empal, daging sapi yang dibumbu bacem dan dimasak sampai empuk, benar-benar sedap, mengingatkan saya pada hidangan sejenis di Magelang. Lalu ada tahu putih yang lembut dan sedap --wilayah pegunungan memang biasanya tahunya enak ya?

 

Drink station di Warung Blok M

 

Sajian di Warung Blok M: mie, sayur tempe, tahu, dan empal

 

Saya mengamati Warung Blok M yang bersih, nyaman, dan ramai ini. Semua bergerak santai, tidak terburu-buru, dan menyantap hidangan yang sederhana namun jujur, tanpa menambah yang tidak perlu. Memang, pengalaman seperti ini perlu sesekali dinikmati oleh “orang kota” yang hidupnya serba cepat dan mentereng. Mengingatkan bahwa hidup itu berkarya, alias “Irup Iku Urup” dalam Bahasa Jawa, seperti saya lihat di sebuah spanduk di Wonosobo. Sekali lagi cocok: the Soul of Java, ya di sini, di meja ini!

 

Interior Warung Blok M

 

Sampai jumpa di petualangan berikutnya!

 

Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.

 

 

Teks & Foto: Harnaz Tagore (Harry Nazarudin)
Comment