MENGENAL KAMPUNG ADAT TERTUA DI FLORES, KAMPUNG BENA 2020-10-10 21:00

Kampung Bena di kaki Gunung Inerie

 

Trip Flores Overland bisa dipastikan mampir ke Kampung Bena (Bena Traditional Village), salah satu perkampungan dari zaman megalitikum yang berada di Desa Tiworiwu Kecamatan Jerebuu Kabupaten Ngada Pulau Flores NTT. Akses ke Kampung Bena paling dekat dari Kota Bajawa (ibu kota Kabupaten Ngada) yang berjarak sekitar 14 km, ditempuh berkendara +/-30 menit, melintasi  jalanan yang menanjak-menurun dan berkelok-kelok. Kota Bajawa sendiri kalau ditempuh nonstop berkendara dari Labuan Bajo memakan waktu sekitar 8 jam, dengan jarak 263 km.

 

Lokasi Kampung Bena

 

 

Gunung Inerie melatari Kampung Bena di sisi barat

 

Posisi kampung adat ini di puncak bukit, dengan Gunung Inerie (2.245 mdpl) melatari di sisi barat. Pintu masuknya berada di sisi utara. Sementara di sisi belakang (selatan) yang merupakan bagian tertinggi terdapat gazebo di tepi tebing untuk menikmati pemandangan ke arah perbukitan dan Laut Sawu di kejauhan. Panjang total wilayah kampung dari utara ke selatan 375 m, dan lebar dari barat ke timur 80 m. Tapi sumber lain menyebutkan, 220 m x 56 m.

 

Ada gazebo untuk menikmati pemandangan di ujung belakang kampung

 

Kalau difoto dari atas, formasi rumah-rumah adat yang memanjang dari utara ke selatan dan berhadap-hadapan itu tampak seperti sebuah perahu. Bagus banget! Jadi kalau Trippers membawa drone, jangan lupa memotret formasi ini ya!

 

Kampung ini berbentuk menyerupai perahu karena menurut kepercayaan megalitik, perahu dianggap wahana bagi arwah untuk menuju tempat tinggal abadinya. Ada juga kisah yang menuturkan bahwa nenek moyang mereka mengarungi lautan luas dengan perahu hingga tiba di Kampung Bena ini.

 

Baca juga: “Mengenal Ritual Adat di Balik Sawah Jaring Laba-Laba di Cancar  Flores

 

Menurut catatan sejarah, Kampung Bena telah ada sejak sekitar 1.200 tahun lalu, dan merupakan kampung adat tertua di Flores, dengan bentuk bangunan yang tak berubah dari dulu. Masyarakatnya pun masih memegang teguh adat istiadat yang diwariskan para leluhur mereka, meskipun mayoritas telah memeluk agama Katolik. Makanya di puncak bukit ada Gua Bunda Maria.

 

Jumlah rumah adatnya secara total ada 45 unit yang berdiri di atas tanah yang berundak-undak karena menyesuaikan dengan kontur alaminya. Makin ke belakang makin tinggi. Semua rumah terbuat dari kayu dan atapnya jerami serta pondasinya dari batu-batu gunung.

 

Rumah-rumahnya berdiri di atas tanah yang berundak-undak. Difoto dari sisi utara, sisi pintu masuk

 

Rumah-rumahnya saling berhadapan

 

Ada kebiasan memajang tanduk-tanduk kerbau ataupun taring babi hutan di dinding depan rumah, sebagai penanda status atau kedudukan si empunya rumah.

 

Tanduk-tanduk kerbau yang dipajang

 

Kalau Trippers perhatikan atap rumah, ada yang di atasnya bertengger orang-orangan laki-laki yang memegang tombak dan parang. Ada yang menyebut inilah rumah kepala suku, ada juga sumber yang menyebut ini rumah pusat untuk kaum pria. Rumah ini disebut sakalobo. Sedangkan rumah pusat/ utama untuk kaum wanita disebut sakapuu. Mereka menganut sistem keluarga dari garis ibu. Rumah-rumah lain juga ada hiasan atap yang berbeda-beda.

 

Atap rumah sakalobo

 

Salah satu bentuk hiasan atap

 

Di halaman bagian tengah kampung terlihat ada 9 pondok kecil (disebut bhaga) yang melambangkan nenek moyang perempuan, dan 9 tiang tunggal beratap ijuk seperti payung pantai (disebut ngadhu) yang melambangkan nenek moyang laki-laki. Jumlah 9 disesuaikan dengan banyaknya suku yang ada di Kampung Bena. Paling banyak dan paling tua serta merupakan pendiri kampung adalah suku Bena yang rumah-rumahnya menempati areal di tengah-tengah.

 

Yang di depan ngadhu dan di belakangnya ada bhaga

 

Bhaga, pondokan mungil terlihat lebih jelas

 

Ngadhu, bisa juga untuk berteduh

 

Ada juga meja persembahan dan batu-batu berupa lempeng-lempeng berujung runcing yang tegak berdiri disusun-susun berkelompok. Ini dipakai untuk penghormatan kepada roh nenek moyang.

 

Lempeng-lempeng batu berujung runcing

 

Kadang terlihat di halaman tengah ini juga banyak hasil ladang dijemur. Ya, sehari-hari warga Kampung Bena terutama kaum pria bekerja di ladang kopi, kemiri, cengkeh, jagung, sementara kaum wanitanya menenun.

 

Hasil lading dijemur

 

Baca juga: “Mari Mengenal dan Menghargai Tenun Ikat Flores dari Lepo Lorun

 

Kalau pas ada mama-mama (sebutan untuk wanita yang telah menikah di Flores) yang sedang menenun, kita bisa menonton dan memotretnya. Mereka akan menyambut dengan ramah, tak merasa terganggu. Mereka menjual kain hasil tenunannya di depan rumah masing-masing, digantung-gantung. Jadi kalau ada rezeki lebih, belilah minimal satu saja hasil tenun mereka. Yang berupa selendang/syal ada yang hanya Rp100.000 kok. Semua buatan tangan. Bagus-bagus warna dan motifnya, nggak nyesel deh beli. Apalagi kalau punya bujet lebih belilah yang berupa kain panjang atau kain sarung yang dari pewarna alami. Kalau nggak berminat beli juga nggak apa-apa sih. Mereka nggak agresif jualannya, dan nggak akan marah walaupun kita nggak beli.

 

Mama sedang menenun

 

Kain tenun digantung-gantung di depan rumah, silakan pilih

 

Beli kain tenun ya….

 

Anak-anak kecil di kampung ini juga suka kalau kita ajak berinteraksi. Rombongan MyTrip sempat berkenalan dengan bocah laki-laki berumur 11 tahun yang tampan, Emon Saba namanya. Dia dengan senang hati menerima ketika diajak berfoto.

 

Emon Saba berkaus merah dan salah satu peserta MyTrip

 

Pada kesempatan lain, rombongan MyTrip juga membagi-bagikan alat tulis kepada beberapa anak usia sekolah, yang tentu disambut dengan gembira.

 

Bocah-bocah ini kesenengan diberi buku dan alat tulis

 

INFORMASI KUNJUNGAN

Jam buka pkl.08.00-17.00. Tiket masuk per orang untuk wisatawan domestik Rp20.000, yang dibayarkan di sebuah rumah kayu yang berada di sebelah kiri pintu masuk. Di situ juga kita sekalian mengisi buku tamu. Selain itu juga kita diminta bayar lagi uang sirih pinang per rombongan Rp20.000. Setelah bayar tiket masuk, kita dipinjami selendang/syal dari kain tenun sebagai simbol kita telah diterima masuk. Kalungkan selendang di leher selama kita berada di kampung ini. Jangan lupa kembalikan pas mau pulang ya.

 

Untuk melihat bagian utama kampung harus naik tangga dulu seperti foto di bawah ini.

 

 

 

Sudah ada toilet umum berstandar wisatawan di kampung ini, di ujung belakang bagian kanan, yang langsung terlihat sebelum kita naik ke puncak bukit.

 

Baca juga: “Wajib Singgah ke Pantai Penggajawa Atau Blue Stone Beach Saat Flores Overland

 

O iya, saat jalan kaki dari tempat parkir kendaraan ke lokasi kita akan melewati hutan bambu yang cukup Instagenik untuk foto-foto. Apalagi ada batang-batang bambu yang berukuran sangat besar, tidak seperti bambu yang biasa kita lihat.

 

Hutan bambu yang Instagenik

 

Batang bambunya besar-besar

 

Saat berkendara menuju kampung ini, Gunung Inerie seolah mengiringi perjalanan kita. Jadi kalau ada waktu jangan lupa berhenti di spot-spot terbaik untuk memotretnya. Gunung yang dipercaya warga Kampung Bena sebagai tempat berdiamnya dewa pelindung mereka ini bisa didaki. Baca pengalaman MyTrip mendaki gunung yang treknya sangat terjal dan panas terbuka ini di sini.

 

Gagahnya Gunung Inerie

 


 

Penginapan nggak ada di sekitar Kampung Bena, jadi menginapnya di Kota Bajawa yang memiliki beberapa pilihan hotel sederhana, di antaranya Hotel Edelweis, Hotel Korina, Hotel Nusantara, Hotel Silverin (yang terakhir ini agak di luar pusat kota). Sedangkan pilihan makan bisa di Rumah Makan Camelia, Ditos Resto, Lucas Resto.

 

Sudah komplet infonya. Jadi, sudah siap ke Kampung Bena? Cara dan panduan ke Flores bisa dibaca di sini.

 

Kalau nggak mau repot, kami bisa menawarkan paket Flores Overland yang ramah di kantong untuk Trippers. Hubungi Maya di WhatsApp 0811821006 atau email mytripjustpackandgo@gmail.com

 

 

 

Teks & Foto: Mayawati NH (Maya The Dreamer)
Comment