YANG LAIN BERBURU TIKET PROMO KE JEPANG, KAMI MEMILIH BLUSUKAN MAHAL DI PAPUA 2018-01-12 00:00

Jalur Merauke-Tanah Merah

 

Menjajal rute Trans Papua yang hingga kini belum seluruhnya rampung bahkan belum seluruhnya tembus mungkin dianggap ide nekat oleh sebagian orang. Tapi keinginan itu begitu kuat, mulai ‘menghasut’ saya sejak pulang dari Wamena September 2016. Saat di Wamena itu rombongan kami yang terdiri dari 8 orang melintasi Trans Papua rute Wamena-Habema hingga lanjut ke Batas Batu (Batu Papan) di Kabupaten Nduga, Papua bagian tengah.

 

Jalur Wamena-Habema. Di sinilah keinginan menjajal Trans Papua bermula

 

Mendengar cerita Pak Edison Meliala, pemandu kami, kala itu tentang bagaimana Zeni TNI AD mulai merintis rute ‘angker’ itu, dan demi melihat dengan mata kepala sendiri betapa gagahnya alam Papua, ada rasa yang nggak bisa dibendung dalam diri saya. Saya ingin terus merambahi tiap sudut Papua, nggak cuma Raja Ampat yang sudah belasan kali saya cumbui. Papua begitu eksotis dan daya magnetnya luar biasa buat saya.

 

Menjelang akhir 2017 saya memantapkan diri untuk merealisasikan cita-cita menjajal Trans Papua ruas lainnya. Apalagi setelah viral video Pak Jokowi naik motor trail melintasi Trans Papua ruas Wamena yang pernah lebih dulu kami jajal (cieeeh bangganya...), saya jadi makin kebelet. Untungnya saya punya travelmate yang gampangan seperti Mbak Ninuk, Mas Priyo dan Gunata (sayang Yuhsie dan Mbak Keke yang juga punya semangat yang sama nggak bisa ikut kali ini). Dengan persiapan yang hanya kurleb 25% matang (belum tahu pasti pulang kapan), kami pun bertemu di Sorong 5 Desember 2017. Kebetulan saya baru selesai membawa grup trip ke Raja Ampat.

 

Tim Jelajah Trans Papua di rute Ayamaru-Manokwari

 

BANTUAN SAMBUNG-MENYAMBUNG

Rute pertama Sorong-Ayamaru-Manokwari sudah aman persiapannya sebulan sebelumnya berkat bantuan teman, Johana Nita, yang punya langganan supir tangguh dan terpercaya yang sudah sering melintasi ruas itu. Dan saya juga sudah dapat bekal banyak info tentang kondisi ruas ini dari Pak Yohanis Tulak, Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional XVII Papua Barat, Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Nomor telepon Pak Tulak ini saya dapat dari Pak Budi yang juga salah satu pejabat PUPR. Dan nomor Pak Budi didapat dari Ibu Maria Goretti Oki, teman kuliah Mas Priyo. Panjang ya... Makanya kami mantap soal ruas ini, termasuk dari segi keamanan yang dijamin aman banget!

 

Rute Ayamaru-Manokwari, aman!

 

Tapi rute selanjutnya (Merauke-Tanah Merah) mbuh, gelap. Malam itu di Sorong kami juga baru membeli tiket pesawat Manokwari-Jayapura untuk rencana terbang 3 hari lagi. Manokwari sebagai titik akhir perjalanan darat jelajah Trans Papua Barat (rencana tahap satu kami). Dari Manokwari kami harus terbang ke Jayapura, sebagai hub sebelum terbang lagi ke Merauke –titik awal jelajah Trans Papua kami tahap dua. Kalau hotel? Mmm... dalam perjalanan ini hotel kami semua go show.

 

Tanggal 6 Desember 2017 mobil Mitsubishi Triton sewaan kami sudah nongkrong gagah di depan hotel kami di Sorong. Supirnya Pak Usman tampak meyakinkan, dan dia membawa dua asisten. Langsung klik, cocok. Syukurlah. Karena nasib kami dua hari ke depan ‘di tangan’ mereka bertiga.

 

Dalam perjalanan Sorong-Ayamaru, iseng saya bertanya ke Pak Usman, apakah punya supir rekomendasi untuk rute Merauke-Tanah Merah yang terkenal ‘sangar’ itu. Eeh, pas banget dia punya ipar di Merauke yang biasa nyetir mobil 4WD melintasi jalur itu. Yess! Kebetulan yang melegakan...

 

Jadi begitu tiba di Manokwari tanggal 7 Desember 2017, saya langsung menghubungi Pak Madi, supir yang direkomen itu. Deal! Tenang sudah. Apalagi Pak Madi memastikan, mobil 4WD pasti bisa tembus seharian sampai Tanah Merah (Boven Digoel). Tadinya saya khawatir, ada wartawan di Jayapura (Bu Eva, yang direkomen teman saya Grace yang tinggal di Jayapura) yang bilang rute itu bisa membenamkan mobil 4WD sekalipun selama berhari-hari kalau musim hujan macam Desember. Pak Edison Meliala pun mengatakan hal yang sama.

 

Kubangan lumpur yang bisa membenamkan mobil apa pun di jalur Merauke-Tanah Merah

 

SEMUANYA PUN BERJALAN MULUS

Jayapura sebagai hub nggak kami lewatkan begitu saja. Karena penerbangan ke Merauke pun nggak ada yang siang, nggak bisa kami lakukan di hari yang sama. Jadi tiba di Jayapura 8 Desember 2017 kami dolan dulu ke perbatasan Skouw Muara Tami. Melihat gedung imigrasi dan beacukai yang sudah megah mentereng. September 2016 saya ke sini masih dalam tahap pembangunan.

 

Perbatasan Skouw sudah keren

 

O ya, masih ada PR satu lagi yang belum tuntas saat itu: bagaimana penerbangan balik dari Tanah Merah ke Jayapura atau Merauke. Karena kami ingin kembali dari Tanah Merah nggak lewat darat lagi. Maka di Jayapura mampirlah kami ke konter Trigana di bandara, lalu diarahkan ke kantor cabang Trigana. Di situ kami dapat info bahwa memang ada penerbangan dari Tanah Merah ke Merauke atau Jayapura sekali setiap hari. Tapi kami nggak bisa pesan tiketnya di situ. Diberilah kami nomor telepon staf Trigana di Tanah Merah. Hasil menelepon esoknya saat kami menunggu penerbangan delay dari Jayapura ke Merauke, seat Trigana penuh untuk tanggal yang kami inginkan. Kami pun dimasukkan waiting list.

 

Kami menginjakkan kaki pertama kali di Bandara Mopah Merauke di tengah sinar mentari terik tanggal 9 Desember 2017. Tampak di sebelah bakal bandara baru yang belum beroperasi, keren! Aah, Papua sudah mulai menggeliat, banyak bandara yang sudah ganti wajah.

 

Bandara Mopah Merauke yang lama

 

Bandara Mopah Merauke yang baru

 

Pak Agus yang menjemput kami di bandara, bukan Pak Madi --dia berhalangan karena anaknya sakit. Syukurlah Pak Agus juga tangguh, apalagi diduet dengan Pilemon, putra asli Papua yang kuat, ringan tangan dan penuh senyum.

 

Pilemon yang murah senyum

 

Penjelajahan Trans Papua yang ketiga buat kami, rute Merauke-Tanah Merah PP (10-11 Desember 2017) menyisakan kenangan yang nggak putus-putusnya kami celotehkan setelah pulang. O iya, akhirnya kami kembali ke Merauke lewat darat lagi karena nggak kebagian seat Trigana.

 

Ganasnya jalur Merauke-Tanah Merah

 

Durasi 11 jam pergi dan 12 jam pulang kami habiskan dengan emosi yang bergonta-ganti. Excited menanti apa yang akan menyambut kami di depan: jalanan senyap yang selaksa tanpa ujung, gerumbulan awan di bawah kami, kabut menyapu pandangan, sabana, rawa, hutan, perkampungan, pos-pos pengawas perbatasan dengan nama daerah/kampung yang baru kami dengar, anggota TNI yang baru bertugas dan bertukar cerita dengan kami, warga lokal yang mencari tumpangan, warung makan milik orang Jawa, sinyal data yang kudu dicari di titik tertentu, barisan sawit yang seragam, antrean truk di lintasan kubangan ‘garang’, semangat bantu-membantu antarsupir.

 

Jalan tak berujung

 

Rawa

 

Bertukar cerita dengan anggota TNI yang baru bertugas

 

Kami pun mengalami ketegangan saat mobil Toyota Hilux kami terbenam di kubangan lumpur merah nan pekat di jam yang sudah mendekati jam tidur. Juga saat mati mesin, hingga harus ditarik oleh truk. Lagu pop Ambon Mitha Talahatu melambai-lambai mengiringi perjalanan kami, menggantikan Sheilla on 7 yang sudah lelah digeber di jalur Sorong-Manokwari. Plus cerita horor yang dikumandangkan Pak Agus di tengah gelap pekat hutan Taman Nasional Wasur, makin mengaduk-aduk perasaan kami.

 

Kepuasan tiada tara saya rasakan setelah menyelesaikan trip impian ini. Trip yang biayanya melebihi trip ke Jepang dengan tiket pesawat promo. Hehehe....

 

Cerita lengkap Trans Papua dan potensi wisatanya bisa dibaca di MyTrip vol 30 yang akan terbit Februari 2018.

Teks: Mayawati NH Foto: Gunata Gura, Mayawati NH, Priyo Tri Handoyo
Comment