Mohon maaf, kali ini saya agak ketinggalan tren. Nasi goreng Tiarbah, yang dikomandoi Chef Tiarbah dari Belitung, sudah sejak setahun lalu meledak bak balon hijau di lagu “Balonku Ada Lima”. Dor! Dari satu outlet, berkembang menjadi banyak dan mendadak populer dibakar oleh animo sosmed. Ruarrr biasa!
Namun, nasgor ini kurang cocok dengan jadwal saya. Di dekat kantor -Parung Panjang- bukanya sore, jam saya mulai pulang kantor. Sementara di rumah, istri saya bisa masak masakan yang sama, jadi ragu-ragu mau memulai Perang Dunia III hanya gara-gara pengen nyobain nasgor Tiarbah.
Namun, dengan project saya menulis buku “Nasgor, Makanan Sejuta Mamat”, ada kesempatan emas untuk mencicipi nasgor ini atas nama riset kuliner Indonesia. Maka setengah lima sore, hadirlah satu cup merah bertuliskan “Nasgor Tiarbah” di kantor yang aromanya langsung menggoda seisi kantor saya!
Seperti apakah rasa nasgor ini? Buat yang belum tahu, nasgor ini banyak menuai kontroversi. Pernah diserang netijen gara-gara tidak memakai kecap, di-endorse banyak pelanggannya lewat Twitter, dengan sekejap mengguncangkan jagad nasgor se-Indonesia. Chef Tiarbah pernah menjelaskan, beliau memasak nasgor satu per satu dengan goyangan wajan andalannya, menggunakan lemak dendeng sebagai penambah aroma Indonesia, serta rela membantu setiap cabangnya di masa pandemi untuk mencari nafkah. Tapi, apakah enak?
Baca juga: "Hidangan Tionghoa Klasik Indonesia"
Ketika saya buka tutupnya, warnanya sudah bercerita. Pucat, dengan bulir nasi yang jelas terlihat. Warna coklat muda merata, tanpa aplikasi rumus Kimia Permukaan Herbert Freundlich (ada di buku Nasgor!) yang dieksekusi dengan baik. Potongan cabai rawit dan titik-titik hitam bumbu beraroma, nampak terlihat, dengan potongan lemak dendeng berwarna gelap. Di luar dugaan saya, yang namanya “dendeng lemak” ini tidak membuat nasi gorengnya berminyak!
Ketika saya cicipi, wow! Saya teringat dua orang peneliti lainnya: Louis Camille Maillard dan John E. Hodge --dua orang yang menjelaskan mengapa makanan gosong dikit itu enak (juga ada di buku Nasgor!). Eksekusi goyangan wajan yang memberi sedikit bau hangus sedap dilakukan dengan baik, aroma rempah bumbunya terasa terangkat cantik dari dasar lidah. Tekstur nasinya renyah, tidak lembek. Ternyata sirnanya kecap tidak membuatnya kurang, melainkan lebih unik! Dan ketika kamu beruntung mendapatkan sebongkah dendeng lemak dalam satu suap, maka rasakanlah sensasi sedap meruapnya aroma smoky sedap dari lemaknya. Pecah!
Pantas saja, nasgor ini cepat populer. Bukan karena punya tempat mentereng dan mewah. Bukan juga karena digoreng investor. Tetapi, nasgor ini bisa sukses, karena digoreng dengan hati! Lidah memang tak bertulang, tapi rasa nggak bisa bohong. Di tengah lingkungan berbujet terbatas, hidangan ini menjadi angin segar dengan membawa inovasi dengan harga tanpa basa-basi! Yuk, cicipin!
Nasgor Tiarbah Parungpanjang
Tulisan ini dibuat dalam rangka peluncuran buku “Nasgor, Makanan Sejuta Mamat” karya Harnaz tanggal 25 Maret 2021.
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.
Jenkins V, Fallowfield L daily cialis online
2024-08-04