BERTEMU KEMBALI DENGAN KI AMUK YANG KINI TAK MENGAMUK LAGI 2020-11-05 11:00

Ki Amuk ditempatkan di halaman Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama

 

Siapa Ki Amuk? Dan kenapa dia kini tak mengamuk lagi? Jadi begini kisahnya…..

 

Dari catatan sejarah diketahui bahwa Kerajaan Pajajaran, yang ibu kotanya berada di sekitar Bogor, sekitar abad ke-16 mempunyai dua buah pelabuhan yaitu Sunda Kelapa dan Banten. Jalur darat dari ibu kota menuju Banten melewati Jasinga lalu membelok di utara Rangkasbitung menuju Banten Girang yang lokasinya sekitar 3 km di selatan Kota Serang atau sekitar 13 km di selatan Banten Lama. Tahun 1513 Banten Lama sudah menjadi pelabuhan kedua setelah Sunda Kelapa. 

 

Belakangan berdiri Kerajaan Banten dengan ibu kota di Banten Lama yang dekat pantai yaitu Kota Surosowan. Kota ini berdiri atas perintah Sunan Gunung Jati kepada putranya yaitu Hasanudin yang menjadi raja Banten pertama. 

 

Selain membuat Keraton Surosowan, Hasanudin juga membangun Masjid Agung. Penggantinya, Maulana Yusuf membuat benteng di sekitar keraton.

 

Baca juga: “100+ Destinasi Wisata Domestik yang Bisa Jadi Pilihan di Era Next Normal. Bagian 3: DKI, Banten, Jawa Barat

 

Banten di masa keemasannya pernah menerima kedatangan kapal Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman, JP Coen dll. Di Pelabuhan Karangantu banyak terdapat pedagang dari Portugis, Arab, Cina, Turki, Keling, Gujarat, Benggali dll. 

 

Belakangan Daendels (Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36) manghancurkan total Keraton Surosowan. Bukan saja gedung-gedungnya yang dihancurkan, ubinnya pun dibongkar dan dipindahkan ke gedung pemerintahan Belanda di Serang. 

 

Semasa kecil saya pernah ikut orang tua mengunjungi bekas kota Banten Lama itu, dan melihat sebuah meriam kuno besar yaitu Meriam Ki Amuk, yang konon adalah pasangan Meriam Si Jagur yang bertengger di halaman Museum Fatahillah Jakarta. Seingat saya meriam itu dulu adanya di Pelabuhan Karangantu. 

 

Baca juga: “Panduan Lengkap Jalan-Jalan ke Sawarna

 

PERJALANAN MENEMUI KEMBALI KI AMUK

Hari itu, bertahun-tahun lalu, saya dan istri berangkat dari Tangerang, dengan tujuan selain ingin melihat lagi Ki Amuk, juga ingin memasuki Speelwijk, benteng Belanda kuno yang dulu hanya bisa saya lihat bagian luarnya saja. Dulu reruntuhannya terlihat angker sekali. Tentu sekalian ingin melihat juga Masjid Agung Banten dan kalau bisa naik ke menaranya. Masih teringat di dekat situ juga ada Danau Tasikardi, sebuah tasik/danau buatan yang di tengahnya ada pulau kecil tempat raja Banten bercengkerama bersama keluarganya. 

 

Menuju Banten Lama paling mudah lewat Kramat Watu, jadi keluar tol Serang Barat. Berkendara menuju Banten Lama, berjarak sekitar 10 km dan melalui jalan desa yang beraspal. Di satu tempat di kanan jalan terlihat ada gapura dan petunjuk: Panembahan Maulana Yusuf, Sultan Banten Kedua. Dan tampak di tengah sawah ada bangunan agak besar dikelilingi pepohonan rimbun. Rupanya itu tempat ziarah. Kami mampir sebentar tapi tidak memasuki komplek karena terlihat banyak sekali anak kecil yang minta-minta uang. 

 

Baca juga: “’Danau Kelimutu’ di Tangerang. Ada??

 

Tak lama kemudian sampailah kami di Pelabuhan Karangantu. Tampak sungai kecil yang dipenuhi perahu kayu. Terbayang sekian ratus tahun lalu di pelabuhan ini lalu-lalang orang dari berbagai negara. Kami tidak mampir, langsung mengarah ke barat dan sampailah di Benteng Speelwijk, yang letaknya persis bersebelahan dengan Vihara Avalokitesvara. 

 

Benteng Speelwijk awalnya dibangun pada masa Kesultanan Banten (masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa), kemudian dipugar Belanda tahun 1685. Bentengnya sudah hancur, kini hanya sisa reruntuhan. Berbentuk segiempat, sekitar 200 x 200 m dan tingginya 3-5 m. Di luar benteng terlihat Kerkhof, makam orang Belanda. 

 

Benteng Speelwijk

 

Bagian dalamnya hanya berupa lapangan, ada bangunan bawah tanah. Dengan ditemani dua anak kecil saya memasuki lorong-lorong bawah tanah itu. Siang hari sih tentu nggak serem, walaupun sempat melihat ruang tahanan dan berbagai ruang lainnya yang mempunyai ventilasi berupa lubang ke atas tanah. Kalau malam sih siapa berani. 

 

Lalu kami ke Vihara Avalokitesvara. Di dalam vihara yang luas ini ada papan yang berisikan cerita bahwa saat terjadi letusan Gunung Krakatau tanggal 27 Agustus 1883, terjadi tsunami, tapi walau seluruh pantai Banten disapu habis, vihara yang letaknya tidak berapa jauh dari pantai itu dimasuki air laut pun tidak. Vihara ini konon dibangun pada masa awal Kesultanan Banten. 

 

Vihara Avalokitesvara

 

Selanjutnya kami menuju komplek bekas Keraton Surosowan, ibu kota Banten yang ternyata masih ada dinding bentengnya. Pintu utaranya menghadap Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama, dan Masjid Agung Banten terlihat tak jauh dari situ. Bekas benteng Surosowan bagian dalamnya sudah kosong, tinggal pondasi gedungnya saja. 

 

Keraton Surosowan

 

Karena istri saya tidak mau, maka saya sendiri yang mencoba naik ke atas menara masjid setinggi 35 m itu. Di pintu menara ada penjaga yang minta uang, saya pikir hanya sekali saja, ternyata di dalam menara ada penjaga-penjaga lainnya yang juga minta uang.

 

Menaiki tangga sebanyak 88 buah dari menara yang dibangun tahun 1559 itu tidak terasa berat, hanya sempitnya lorong tangga membuat agak was-was, khawatir bertemu orang yang turun --tidak mungkin muat kalau berpapasan. Tapi rupanya sudah diatur oleh penjaga, mereka saling berteriak memberitahu apakah giliran turun atau naik.

 

Baca juga: “Warga Tangerang, Beneran Nih Nggak Bangga Punya Dua Tempat Ini?

 

Di atas menara ada dua tingkatan teras, di mana pengunjung bisa keluar dan mengelilingi bagian luar menara. Pemandangan dari atas memang menyenangkan, kalau ke arah utara bisa melihat sampai ke laut, ke selatan terlihat Gunung Karang yang berada di Kabupaten Pandeglang. 

 

Masjid Agung Banten

 

Masjid Agung terlihat anggun dengan atap bersusun lima. Ada dua serambi dan pada bagian selatan tampak bangunan unik yang berbentuk empat persegi panjang dan bertingkat. Itulah bangunan Tiyamah yang mempunyai langgam arsitektur Belanda kuno, dibangun oleh Hendrik Lucasz Cardeel yang juga membangun menara masjid. 

 

Turun dari menara, untung sebelum kembali ke mobil saya teringat belum memasuki Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama di mana Ki Amuk berada. 

 

Ki Amuk

 

Lega sekali karena akhirnya saya ketemu lagi dengan Ki Amuk, yang kali ini sudah bersemayam di halaman museum setelah beberapa kali pindah tempat. Panjangnya 341 cm, dengan diameter bagian belakang 66 cm, diameter mulut atau moncong bagian luar 60 cm dan bagian dalam 32 cm. Adapun lebar bagian yang menonjol 1,15 m.

 

Ki Amuk

 

Meriam gagah berwarna gelap itu tentu sudah tidak akan mengamuk lagi melontarkan peluru. Kini ia tidur manis di bawah cungkup yang khusus dibuat untuknya. 

 

 

Teks: Sindhiarta Mulya Foto: dispar.bantenprov.go.id, kebudayaan.kemdikbud.go.id, Putra-Aditya (kebudayaan.kemdikbud.go.id), Sindhiarta Mulya, Wikipedia
Comment