ADA TABU YANG TAK BOLEH DILANGGAR DI KAMPUNG ADAT NAMATA DI PULAU SABU 2020-02-27 00:00

Kumpulan batu megalitik di Kampung Adat Namata

 

Tak terhitung banyaknya kampung adat yang ada di seluruh pelosok Indonesia. Dan masing-masing pasti memiliki keunikan tersendiri. Bahkan antara sesama kampung adat di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) saja misalnya, bentuk dan konsep bangunannya berbeda-beda. Saat berkesempatan datang ke Kampung Adat Namata di Pulau Sabu, bayangan saya tentang kampung adat yang seperti Kampung Adat Bena di Flores atau Prai Ijing di Sumba (semuanya di NTT) buyar seketika. Karena beda banget!

 

Dari beberapa kampung adat yang ada di Pulau Sabu, kami memilih mengikuti saran pemandu lokal, ke Kampung Adat Namata. Menjelang sore, di hari terakhir eksplorasi kami di Pulau Sabu, tibalah kami di kampung yang berada di Desa Raeloro, Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua, Pulau Sabu, NTT. Nggak terlalu jauh dari Kota Seba, ibu kota kabupaten, tapi jalanan ke sini lumayan menanjak.

 

Baca juga: "Uniknya Pantai Rae Mea di Sabu dengan Tebing Warna-Warni dan Cangkang Kerang Bertebaran"

 

Kami disambut seorang mama (wanita paruh baya) yang merupakan pengurus kampung tersebut, yang memang biasanya melayani dan memandu para wisatawan yang datang. Beliau menawarkan kami apakah mau memakai baju adatnya. Kami sempat melihat ada 3 gadis wisatawan lokal sedang berfoto-foto dan mengenakan baju adat yang berupa kemben. Karena sudah sore, takut malah keburu gelap, kami menolak. Kami mempersilakan saja beliau bercerita tentang kampung adat itu, ritual-ritualnya yang masih dilakukan hingga kini, legenda-legendanya, dan termasuk tabu-tabunya.

 

Memakai pakaian adat dan berpose-pose di antara batu-batu ini

 

Suasana kampung adat yang halaman depannya dihampari batu-batuan megalitik yang bulat besar-besar dan berwarna kehitaman itu terkesan mistis. Kami makin merinding mendengarkan penjelasan tentang beberapa larangan yang tak boleh dilanggar, salah satunya, nggak boleh memotret dua batu di ujung paling kanan dan ujung paling kiri. Nah lho, saya langsung mengecek, apakah foto jarak jauh saya ke arah kumpulan batu-batu itu mengenai batu yang dimaksud. Pastinya kena ya, tapi katanya nggak apa-apa kalau dari jauh, asal tak khusus memotret batu tersebut. Batu tersebut juga nggak boleh disentuh.

 

Suasana mistis begitu kentara, apalagi menjelang senja menghilang berganti malam

 

Batu-batu megalitik tersebut punya nama dan fungsi masing-masing, bahkan konon punya kemampuan gaib. Misalnya ada batu yang merupakan singgasana pemangku adat tertinggi, ada batu yang menjadi penentu kemenangan perang, ada batu untuk ritual mendapatkan jodoh, dlsb. Makanya jangan sembarangan dengan batu-batu ini ya.

 

Bagaimana ceritanya batu-batu ini bisa berada di sini?

 

Bagaimana batu-batu ini berada di sini? Ada sumber yang menyebutkan batu-batu tersebut dibawa oleh Robo Aba, yang membangun perkampungan ini. Ada juga yang bilang batu-batu ini datang sendiri secara gaib.

 

Baca juga: "Ayo Cepetan ke Kelabba Madja Sebelum Jadi Viral Kedua Kalinya"

 

Beberapa meter dari kumpulan batu-batu bulat besar ini ada juga bentuk lingkaran yang cukup besar d atas tanah yang disusun rapi dari batu-batu. Itu adalah tempat pemujaan atau altar persembahan saat digelar ritual adat.

 

Lingkaran tempat pemujaan

 

Di balik hamparan batu yang dinaungi pohon-pohon tersebut terlihatlah beberapa rumah adat beratap rumbia. Ada yang berbentuk kerucut besar dan atap rumbianya menutup sampai ke bagian bawah, nyaris menyentuh tanah. Ada juga yang berbentuk memanjang dengan atap rumbia yang nyaris menutup semua bagian rumah juga. Rumah panggung yang lebih besar ada di bagian paling depan dekat tempat mobil kami diparkir. Sayang memang, kami tak sempat memasuki satu rumah pun yang kesemuanya masih dihuni ini.

 

Ini bentuk rumah adatnya

 

Kami sudah cukup puas memotret dari segala sisi hamparan batu-batu hitam tersebut yang sungguh eksotis apalagi di senja hari. Sayangnya, Pak Kepala Adat yang sempat keluar menemui kami tidak sedang memakai baju adat, malah memakai kaus partai, hihi.

 

O ya, ada satu cerita yang jujur saya lupa-lupa ingat detilnya, yang diceritakan oleh pemandu lokal saat mobil kami mulai meninggalkan Kampung Adat Namata di sore hari yang beranjak gelap itu. Katanya, kalau datang di waktu yang tidak tepat, atau kalau ada salah apa gitu, walapun sebenarnya nggak susah untuk mencapai kampung itu, tapi ada saja hambatan yang membuat kita nggak bisa sampai ke situ. Begitulah.....  

 

Cara ke Pulau Sabu silakan baca di sini.

Teks & Foto: Mayawati NH
Comment