SEMANA SANTA, TRADISI PASKAH ALA PORTUGIS DI LARANTUKA 2020-04-10 00:00

Katedral Reinha Rosari di Larantuka

 

Larantuka, kota paling timur di Pulau Flores Nusa Tenggara Timur (NTT), memiliki sebuah ritual yang telah dilaksanakan berabad-abad lampau. Semana Santa namanya, momen sakral yang berlangsung selama seminggu ini bertitik berat pada peringatan sengsara Yesus dan kedukaan Bunda Maria, yang merupakan warisan Portugis. Suasannya sangat istimewa, unik, dan berkesan, sehingga mampu menyedot perhatian dunia selama bertahun-tahun.

 

ASAL MUASAL

Abad Pertengahan merupakan masa perdagangan laut yang pesat di Indonesia, terutama rempah-rempah yang menarik bangsa Eropa, salah satunya Portugis. Kemunculan komoditas istimewa seperti cendana di Pulau Timor NTT menarik perhatian mereka, sehingga jalur perdagangan yang semula berkonsentrasi di Kepulauan Maluku pun bergeser ke Timor. Larantuka yang berada di jalur pelayaran laut akhirnya menjadi persinggahan Portugis.  

 

Baca juga: "3 Gunung Api di Lembata. Bisa Main Bola di Puncaknya Lho!"

 

Dari sinilah kemudian pengaruh Portugis masuk. Kerajaan setempat menjadi koloni Portugis, dan agama Katolik pun tumbuh menjadi agama resmi kerajaan lokal. Migrasi keturunan Portugis-Melaka cukup banyak ke Larantuka sehingga kehidupan agama kian kuat. Salah satu tradisi keagamaan yang terwariskan yakni Semana Santa. Ada tiga titik di Flores Timur yang teguh memelihara tradisi ini, selain Kota Larantuka, ada juga di Wure (Pulau Adonara) serta di Konga.

 

Pemandangan Larantuka dari ketinggian

 

Hingga kini beberapa bagian dari ritual Semana Santa masih menggunakan bahasa Portugis kuno dalam bentuk doa dan nyanyian.

               

BUNDA MARIA SEBAGAI FIGUR PENTING

Bunda Maria sangat dihargai oleh penduduk Larantuka. Bagi mereka, sosok ibunda Yesus adalah seorang ratu semesta sekaligus ibu dari segala ibu yang murah hati. Tak heran Larantuka dijuluki sebagai kota Rainha Rosario, dan penduduk sangat menjaga lambang-lambang kudus yang berkaitan dengan Bunda Maria.  

 

Baca juga: "Namanya Gereja Santo Antonius Padua Sasi, Tapi Banyak yang Menyebutnya Gereja Del Piero"

 

Kisah mengenai ikatan emosi yang kuat antara penduduk dengan Bunda Maria terjalin melalui peristiwa mistis. Ditemukannya patung Bunda Maria yang terdampar pada abad ke-16 menjadi indikator awal. Penduduk yang masih menganut animisme menganggap patung setinggi 160 cm tersebut sebagai wujud keramat. Kelak disadari bahwa itulah gambaran Bunda Maria saat misionaris Portugis berlabuh ke Larantuka. Dari sanalah konektivitas warga dengan Bunda Maria terjalin. Patung itu dikenal luas dengan sebutan “Tuan Ma” dan bersamaan dengan masuknya agama Katolik serta budaya Portugis, Tuan Ma menjadi bagian tak terpisahkan bahkan menjadi identitas Larantuka.

 

Hampir semua rumah memiliki gambar atau replika Bunda Maria dalam wujud patung. Belasan suku lokal bahkan membangun kapela (gereja mini) pribadi yang dinamakan ‘Tori’ untuk menyimpan benda-benda religius yang diwariskan turun-temurun.

 

Meskipun inti dari Semana Santa sebetulnya tentang penderitaan Kristus, tapi di Larantuka perhatian penduduk tercurah pada Bunda Maria, sebuah momen untuk merasakan kepedihan seorang ibu menemani anaknya memanggul salib, dihina, dirajam, hingga dipaku. Juga sekaligus momen untuk menghargai peran para ibu dalam kehidupan.

 

RANGKAIAN SEMANA SANTA

Semana Santa dimulai pada hari Rabu yang disebut Rabu Trewa. Pada hari ini masyarakat atau suku yang telah ditentukan setahun sebelumnya melakukan persiapan penting untuk prosesi. Salah satu unsur inkulturasi terlihat pada kegiatan Tikam Turo, di mana pinggir jalan dibuat pagar dari kayu silang-menyilang sebagai pembatas jalur prosesi. Pagar ini sekaligus dijadikan tempat pemasangan lilin.

 

Remaja yang memikul salib dalam rute Tikam Turo

 

Khusus untuk Semana Santa, lilin-lilin yang dipasang di pagar ini haruslah lilin daur ulang dari upacara tahun sebelumnya. Lilin-lilin ini diolah secara manual. Para ibu menyiramkan cairan lilin panas berjam-jam hingga terbentuk menjadi lilin siap pakai. Ini dipahami sebagai bentuk laku tapa serta olah ketabahan.

 

Pemasangan lilin yang dibuat sendiri oleh para ibu rumah tangga

 

Suasana berkabung mulai menyelimuti Larantuka. Tidak ada ribut gaduh lagi. Meskipun berkabung, penduduk menyebut hari-hari duka tersebut sebagai ‘Hari Bae’, artinya Hari Yang Baik, Hari Rahmat Allah.

 

Kemudian Hari Kamis kegiatan warga didominasi doa. Warga silih berganti mendatangi kapela-kapela yang penting, seperti Kapela Tuan Ana, Kapela Tuan Ma, Kapela Tuan Menino. Ziarah ke kuburan keluarga juga dilakukan, termasuk ke pusara para pastor, baik kuburan pastor lokal maupun misionaris.

 

Puncak kesakralan terjadi di Hari Jumat yang disebut Sesta Feira. Warga mengenakan pakaian serba hitam, demikian pun para tetamu dari luar Larantuka yang hendak mengikuti ritual. Semua orang berbaur di pusat kota, di sekitar Katedral Larantuka.

 

Baca juga: "Ada Apa di Ruteng NTT? Ada Situs 'Hobbit' Liang Bua"

 

Betapa menggetarkannya melihat warga menyambut arca Tuan Menino yang diarak dengan sampan melintasi Selat Gonzalu yang berarus kencang. Setelah ibadah, giliran patung Tuan Ma yang berparas sendu ditandu mengelilingi kota. Doa dan lagu dukacita membumbung bersama dupa dan asap lilin. Hingga larut malam, Larantuka diterangi jutaan cahaya lilin.

 

Sampan tradisional yang membawa Tuan Menino

 

Prosesi Tuan Ma mengitari kota tua Larantuka

 

MENGINAP DI RUMAH WARGA

Saat Semana Santa ribuan orang mendatangi Larantuka. Warga yang merantau jauh pun menggunakan momen ini untuk pulang dan berkumpul bersama keluarga. Mereka menyebutnya “Bale Nagi” atau Pulang Kampung. Otomatis keadaan ini membuat hotel maupun penginapan senantiasa full booked. Bahkan sebagian besarnya sudah dipesan sejak awal tahun.

 

Mensiasati kunjungan yang berlimpah ini, penduduk biasanya memberi tumpangan di rumah mereka. Namun belakangan ini, diterapkan konsep homestay agar wisatawan maupun peziarah asing mendapatkan kesan serta kenyamanan beristirahat. Rumah-rumah diseleksi dan diberi panduan untuk melayani tamu. Sebuah itikad yang patut diapresiasi. Jadi, jangan khawatir hotel penuh saat Semana Santa.

 

O ya, pengunjung non-Katolik pun boleh ikut merasakan suasana Semana Santa ini. Jangan kaget ya, sebab umat Islam pun ikut berpartisipasi dalam Semana Santa ini sejak ratusan tahun lho! Sebuah wujud toleransi dan persaudaraan yang terpelihara di Larantuka.

Teks & Foto: Valentino Luis (IG: valentinoluis.indonesia)
Comment