COMPANG TODO, KERAJAAN TERTUA DI MANGGARAI FLORES YANG BERASAL DARI MINANGKABAU (Bagian 1) 2023-06-29 20:50

Desa Wisata Compang Todo

 

Mungkin sedikit yang tahu, ada sebuah kerajaan di Manggarai Pulau Flores Nusa Tenggara Timur, yang asal-muasalnya dari Minangkabau. Namanya Todo. Sekarang dikenal dengan sebutan Desa Adat Todo atau Desa Wisata Compang Todo. Dulu rumah adatnya berupa rumah gadang namun kemudian berubah menjadi rumah kerucut yang disebut niang --sama dengan yang di Waerebo. Tidak sepopuler Waerebo, padahal dulu daerah kekuasaannya sampai Selat Sape (dekat Bima Pulau Sumbawa) di barat hingga perbatasan dengan Kabupaten Ngada di sebelah timur. Uniknya, versi Todo menyebut tak ada hubungan darah dengan orang Waerebo. Tapi versi Waerebo menyebut ada. Yang jelas nenek moyang mereka sama-sama dari Minangkabau.

 

Kalau ini Waerebo

 

WAJIB PAKAI SARUNG DAN MENGIKUTI RITUALNYA

Masuk ke Desa Wisata Compang Todo atau sebut saja Kampung Todo harus melapor dulu di sekretariatnya di bagian depan. Mudah dikenali, ada tulisan “COMPANG TODO” besar-besar di depannya. Ada petugas yang akan menyambut, menyampaikan penjelasan awal, meminta pembayaran tiket masuk per orang Rp45.000. Jadwal kunjungannya pkl.07.30-18.00.

 

Sekretariat Compang Todo

 

Sandri, pemandu/petugas Kampung Todo, memberikan penjelasan awal

 

Juga ada satu keharusan. Pengunjung laki-laki wajib memakai sarung, selendang, dan peci. Pengunjung perempuan wajib memakai sarung, selendang, dan retu (ikat kepala). Tenang, semua itu sudah disediakan untuk dipinjam-pakai. Banyak pilihan, silakan comot warna dan motif yang Trippers sukai atau matching dengan kostum yang sedang dipakai.

 

Pakai sarung, selendang dan ikat kepala

 

Jangan langsung mencar dan eksplor sendiri, karena sebelum beraktivitas di Kampung Todo ini Trippers wajib masuk dulu ke rumah adat/niang utama (Niang Mbowang) untuk minta izin kepada leluhur, dan memberikan donasi (besarnya Rp50.000 untuk satu rombongan).

 

Jalan setapak menuju Niang Mbowang berupa susunan batu-batu yang rapi. Terlebih dahulu Trippers harus menaiki tangga yang diapit 5 meriam kuno (dua di kiri, tiga di kanan). Ada yang bilang meriam itu dibawa nenek moyang mereka dari Minangkabau, ada juga yang bilang peninggalan penjajah Belanda.

 

Meriam kuno di kiri kanan tangga masuk

 

Jalan setapak berupa susunan batu-batu menuju Niang Mbowang

 

Masuk ke Niang Mbowang yang dulunya adalah kantor kerajaan, Trippers mesti merunduk karena pintunya memang rendah. Memang hal ini dimaksudkan agar setiap tamu menunduk dan menghormat. Alas kaki wajib dilepas. Hati-hati, tangga masuknya ada celah, jangan sampai kejeblos.

 

Pintu masuknya rendah, harus merunduk untuk masuk

 

Tangga masuk, ada celah (foto diambil saat keluar)

 

Tiba di dalam Niang Mbowang yang tampak besar dan lowong itu, Trippers diminta duduk beralas tikar di satu sisi. Kemudian tetua adat keluar dan mulai menjalankan ritual penyambutan dengan merapalkan doa dalam bahasa lokal. Setelah selesai, salah satu perwakilan rombongan diminta meletakkan uang donasi di tempat yang telah disediakan.

 

Tetua adat merapalkan doa, Sandri, pemandu, di sebelahnya

 

Meletakkan uang donasi

 

Ritual ini nggak cuma berlaku bagi wisatawan. Bahkan orang Manggarai pun kalau berkunjung wajib mengikuti ritual yang sama. Kalau tidak dilakukan akan terjadi sesuatu.

 

DULUNYA 9 RUMAH, ATAPNYA MIRIP SARANG LABA-LABA

Pemandu yang menemani MyTrip dkk April 2023 lalu, Sandri, menjelaskan, dulu, sekira abad ke-11, Kampung Todo ini adalah kerajaan yang menjadi pusat pemerintahan wilayah Manggarai Raya di Pulau Flores. Wilayah kekuasaannya mencakup 3 kabupaten yang sekarang dikenal sebagai Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, bahkan sampai Selat Sape di dekat Bima Pulau Sumbawa Nusa Tenggara Barat. Labuan Bajo tentunya termasuk.

 

Setelah Indonesia merdeka, kerajaan yang tadinya di Todo dipindahkan ke Kota Ruteng. Makanya Ruteng menjadi ibu kota Kabupaten Manggarai. Sistemnya juga diubah tentunya, tidak ada lagi kerajaan. Kampung Todo ini sekarang masuk wilayah Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai.

 

Aslinya dulu terdapat  9 bangunan rumah tapi semua sudah hancur karena terlalu tua dimakan usia. Sembilan rumah itu dulunya masing-masing mengemban tugas dari kerajaan. Sekarang yang terlihat hanya ada 6 rumah, karena memang yang dibangun ulang baru 6. Rencananya akan dibangun 3 lagi supaya sesuai dengan kondisi aslinya.

 

Sekarang yang telah dibangun ulang baru 6 rumah. Yang terlihat di foto hanya 5

 

Baca juga: "Mari Mengenal Waerebo, Home of Timeless Culture"

 

Sama dengan di Waerebo, rumah-rumah ini semua menghadap ke compang alias altar persembahan. Kalau di Waerebo bentuknya bundar, di sini persegipanjang. Di atas compang juga terlihat ada beberapa menhir. Sama juga dengan rumah adat Waerebo, rumah kerucut ini memiliki lima lantai. Baca fungsi tiap lantainya di sini.

 

Compangnya persegipanjang

 

Di dalam rumah utama dulu terdapat 9 kamar yang dihuni 9 kepala keluarga. Tapi sekarang kamar-kamarnya sudah tidak ada, dan hanya ditinggali satu keluarga. Yang lain sudah tinggal di luar.

 

Dapur ada di dalam rumah di sisi belakang. Tujuan dapur ada di dalam karena rumah membutuhkan asap, semakin banyak asap, semakin kuat atapnya.

 

Dapur ada di dalam rumah

 

Ada mimbar adat sekaligus sebagai tempat penyelesaian masalah atau pengadilan tertinggi. Sampai sekarang masih difungsikan demikian. Kalau ada masalah, dibawa ke sini, jelas Sandri.

 

Kerangka atap rumahnya mirip lingko alias sarang laba-laba, sama seperti persawahan yang ada di Manggarai. Ya, sawah-sawah di Manggarai dibagi dengan sistem lodok, membentuk petak-petak seperti jaring laba-laba. Mengandung filosofi tentang persatuan seluruh Manggarai.

 

Baca juga: "Mengenal Ritual Adat di Balik Sawah Jaring Laba-Laba di Cancar Flores"

 

Kalau Trippers sempat mengamati ragam ukiran di rumah-rumah Todo, itu menggambarkan barang-barang dari nenek moyang yang sudah hangus terbakar. Kenapa terbakar? “Dulu di sini rumah pertama adalah rumah gadang, rumah minang, tapi pernah diserang oleh suku tertentu, dibakar, karena nenek moyang kami dianggap menjajah. Barulah kemudian dibangun rumah kerucut seperti sekarang,” papar Sandri.

 

Dari keterangan Sandri, yang tinggal dalam komplek kampung ini kini ada 20-an kepala keluarga. Tapi jumlah orang di seluruh Kampung Todo ada 1.000-an. Masyarakat Manggarai sebagian besar adalah orang Kampung Todo.

 

Tepat di sebelah Niang Mbowang ada pondokan yang dikhususkan sebagai tempat penjualan kain-kain tenun. Ada banyak ragam motif dan warna yang ditawarkan. Silakan beli jika berminat. Harga bisa ditawar.

 

Tempat penjualan kain-kain tenun

 

Bersambung ke sini.

 

 

Teks: Mayawati NH (Maya The Dreamer) Foto: Mayawati NH, Sandri
Comment