YANG UNIK DARI TRADISI LOMPAT BATU DI NIAS 2019-06-16 00:00

Menonton Lompat Batu sambil mengenakan baju adat Nias

 

Indonesia kaya sekali akan tradisi unik yang masih dijaga kelestariannya hingga kini. Salah satunya tradisi Lompat Batu di Nias, Sumatera Utara. Lompat Batu menjadi andalan wisata Nias selain tentunya rumah-rumah adat dan lokasi surfing. Gambar putra Nias sedang melakukan Lompat Batu pernah diabadikan di atas uang pecahan seribu rupiah keluaran tahun 1992.

 

Lompat Batu atau Hombo Batu awalnya adalah ritual inisiasi pria muda menjadi pria dewasa dan sebagai prajurit. Sebagai prajurit para pria ini harus mampu melompati batu yang tinggi. Kalau sudah mampu melompati batu, barulah mereka boleh ikut berperang. Kenapa syaratnya ini? Karena desa-desa di Nias pada zaman dulu semuanya dipagari tembok batu yang cukup tinggi. Saat berperang menyerbu desa musuh, para prajurit harus bisa melompati tembok pertahanan di desa musuh tersebut. Dan saat diburu, mereka juga harus bisa kabur dengan melompati kembali pagar desa musuh.

 

 

Tentunya tak mudah bagi para putra Nias ini untuk mampu melompati batu yang berbentuk piramida setinggi 1,8-2,2 m ini. Perlu latihan dari kecil, sekitar umur 6 tahun. Tapi selain faktor latihan, ada juga pengaruh faktor genetik. Anak laki-laki dari ayah pelompat batu biasanya lebih mudah dan cepat untuk bisa menguasai keahlian ini. Lalu sampai kapan mereka bisa melakukan lompatan? Sampai mereka menikah. Kalau sudah menikah, mereka tak lagi melakukan Lompat Batu.

 

Atraksi Lompat Batu bisa dilihat di Desa Bawomataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan. Untuk sekali lompatan tarifnya Rp150.000. Para pelompat memakai pakaian khas Nias dengan warna dominan hitam dan aksen kuning-merah, dan bertelanjang kaki. Sedangkan tiket masuk desa Rp5.000. Supaya lebih keren fotonya, kita bisa sewa baju adat Nias Rp35.000. Jadi kita berpose menonton Lompat Batu dengan mengenakan baju adat Nias. Semua ini sudah dikelola rapi oleh Bumdes (Badan Usaha Milik Desa) setempat. Jadi kita sebagai pengunjung tak perlu bingung harus bayar ke mana.

 

Para pelompat batu dengan kostum kebesarannya

 

Desa Bawomataluo sendiri merupakan destinasi populer di Nias Selatan yang selalu ramai dikunjungi baik pada hari-hari biasa maupun hari libur. Di desa yang memiliki pola perkampungan berbentuk T ini terdapat 137 rumah adat dengan Omo Sebua (Rumah Raja) yang berada di tengah desa dengan batu setinggi 210 cm untuk Lompat Batu di dekatnya.

 

Omo Sebua (Rumah Raja)

 

Di depan Omo Sebua ini terdapat meja batu lengkap dengan kursi yang juga dari batu (Daro-daro atau Harefa) serta beberapa menhir. Batu yang menjulang tinggi adalah batu Faulu (batu tanda menjadi raja), yang sebelah kanan adalah batu Loawo, yang sebelah kiri batu Saonigeho. Sementara batu datar adalah batu untuk mengenang kebesaran dan jasa kedua orang raja ini.

 

Boleh foto-foto di Omo Sebua

 

Desa Bawomataluo yang secara harafiah berarti Bukit Matahari ini diperkirakan didirikan antara tahun 1830-1840. Desa tradisional ini berada di atas bukit, pada ketinggian 270 meter di atas permukaan laut. Didirikan di tempat tinggi supaya mudah melihat musuh yang datang.

 

Baca juga: "Jalan-Jalan ke Nias Tapi Nggak ke Pulau Asu Rugi Banget Deh!"

 

Untuk bisa sampai ke Desa Bawomataluo ini pengunjung harus melalui anak tangga yang jumlahnya 86 buah dengan latar belakang bentangan Desa Orahili Fa’u dan Pantai Sorake di kejauhan. Dibutuhkan waktu 30 menit dari Pusat Kota Teluk Dalam (ibu kota Nias Selatan) untuk mencapai desa yang termasuk dalam daftar cagar budaya nasional ini. Kalau dari Kota Gunungsitoli yang tak jauh dari Bandara Binaka ke desa ini diperlukan sekitar 3 jam berkendara. Sedangkan dari Jakarta ke Gunungsitoli bisa dengan penerbangan langsung selama 2 jam 15 menit, atau transit Bandara Kuala Namu Medan. 

Teks & Foto: Go Nias Tour, Mayawati NH
Comment