LES IS MORE! MORE! MORE! (BAGIAN 2: SENTRA PRODUKSI DESA) 2020-12-27 12:25

Inilah satu set alat destilasi tradisional

 

Saya suka gaya Chef Yudhi ini karena orangnya komplit: adat kuat, masak layak, bisnis manis. Selain masak, beliau mulai memikirkan bagaimana menarik ekonomi ke desa, dengan melakukan produksi di desa. “Ini semua aset koperasi, Mas. Gini caranya produk lokal bisa maju!” katanya. Bahkan kreasi terbarunya menjadi kuat di masa pandemi: CV Sadrasa yang memproduksi bumbu frozen. Cakep!

 

Pertama-tama, kami dibawa melihat proses pembuatan gula aren dan gula lontar cair, yang disebut juruh di Bali. Gula lontar nampak berwarna lebih gelap, dengan rasa sedikit asam. Gula aren --tanpa penambahan gula putih-- juga dibuat di sini, dimasak perlahan-lahan sampai volumenya tinggal 10%-nya. “Kalau kadar airnya masih tinggi, maka akan cepat rusak. Inilah penanda kualitasnya!” kata Chef Yudhi. Saya sempat menghirup aroma gula aren yang baru selesai dimasak. Amboi, aroma manis, aroma fermentasi, aroma buah, bercampur jadi satu!

 

Juruh (gula merah cair) yang baru selesai dimasak

 

Chef Yudhi dan juruh yang siap dijual

 

Lalu, arak! Satu set alat yang selama ini saya cuma lihat fotonya, nampak di depan mata. Uap panas dari tuak meruap melalui bambu, lalu masuk ke bambu horizontal 13 ruas alias kira-kira 10 meter. Di ujung satunya lagi, meneteslah arak! Dan pertanyaan saya terjawab: syarat proses efisien adalah set destilasi tidak boleh bocor. Kalau bambu bagaimana memastikan kedapnya? Bahan kuning bersabut menjadi jawabannya. “Ini serat kulit lontar, bersama buahnya yang sudah matang, menjadi lengket seperti lem!” kata Chef Yudhi. Wuih, teknologi membumi! Bagaimana tahu berapa panjang bambu pendinginnya? “Cek dengan tangan, kalau terasa dingin baru potong di situ, biasanya 11-13 ruas,” katanya. Secara termodinamika sahih!

 

Bambu yang menjadi bagian dari alat destilasi

 

Lalu, garam. “Saya sudah banyak buat garam berempah, diproduksi di dekat Warung Tasik sana, kalau musim panas!” katanya bersemangat, menunjukkan stoples kuno berisi serbuk putih. Garam laut, rasanya memang lebih kompleks karena kandungan mineralnya lebih banyak. Garam ini disimpan dalam besek-besek mini berikat benang kasur, cantik!

 

Lalu ada lagi jajaran gentong arak kuno, yang dibelinya dari desa-desa sekitar Les. Ada rasa mangga, kelapa, dan yang dibakar khusus dengan kayu moringa atau kayu kelor. Semuanya nampak artistik, nyeni, tapi secara sains sahih, juga higienis. Keren!

 

Jajaran gentong/guci arak kuno

 

Tiba-tiba kami sadar. Mana anak-anak? Dua putri kami yang tadinya kaget melihat semut dan laba-laba (wajar, lulusan Institut Cluster Serpong hahaha) kemudian menghampiri kami dengan wajah ceria, berceloteh tentang hari mereka. “Papi, tadi kita kasih makan hedgehog! Hedgehognya makan rambutan!” kata yang bungsu. “Iya, itu ayamnya bunyi cockadoodledoo, beneran ternyata,” kata yang sulung. Tangannya kotor, si bungsu sedang mengudap rambutan manis. Kulitnya merona cerah, dan orang tuanya senang. Gini lho caranya, belajar di alam!

 

Dan ini belum semua! “Saya buat ikan asap juga, Mas, itu smoker-nya!” katanya menunjuk satu tungku smoker di pojok. Luar biasa! Meskipun kini terhantam pandemi, namun semangat ini yang tak ternilai harganya untuk ekonomi Bali. Mantap!

 

Baca juga: “Bertemu Chef Tiwi, ‘Ida Ayu Wili Wonka’ di Mason Chocolate Bali!

 

Kami pun berpamitan, membawa titipan untuk Oom William Wongso, yang memang hokki pas pengen juruh kami pas ke sini, hehe. “Lain kali menginap ya Mas, bisa ke Amlapura, Tulamben, lihat ikan!” katanya. Perjalanan pulang kami lalui dengan perut kenyang dan hati senang, sehingga bisa lebih menikmati keindahan sepanjang jalan. Dalam hati kami berencana, pan-kapan nginap deh di sini! Sebuah janji yang segera ditagih sang sulung, ketika bangun dari tidur siang: “Pi, kapan ke Oom Yudhi lagi? Aku mau kasih makan hedgehog!”

 

Les is more, more, and more! Encore!

 

Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia.

 

 

Teks & Foto: Harnaz Tagore (Harry Nazarudin)
Comment