SKY CAMP? KEMPING DI LANGIT? 2017-05-23 00:00

Suasana kemping "di langit"

 

Mendengar nama kegiatannya, sky camp, uwowww.... Kemping di langit? Kemping di ketinggian? Kemping di tebing? Atau kemping dengan tenda yang menggantung? Bukan, kempingnya sih biasa, tendanya tetap didirikan di atas tanah. Tapi tanahnya berada di ketinggian tebing. Dan untuk mencapainya harus memanjat tebing. Tapi tenang, manjatnya nggak harus merayap seperti cicak dan nggak perlu skill khusus, karena sudah ada tangga-tangga besi tertancap kuat di dinding tebing.

 

Tangga-tangga besi tertancap kuat di dinding tebing

 

Kegiatan memanjat tebing dengan memanfaatkan tangga besi yang ditanam disebut via ferrata. Via ferrata berasal dari bahasa Italia karena teknik ini diperkenalkan pertama kali di Italia. Via artinya “jalan” dan ferrata artinya “besi”. Jadi via ferrrata adalah lintasan jalan atau tangga besi sepanjang jalur pemanjatan tebing yang dilengkapi kabel baja di sepanjang sisinya. Kabel baja ini dipantek ke dinding tebing tiap maksimal 10 meter. Dengan tangga besi dan kabel pengaman yang dihubungkan ke harness di tubuh para pemanjat, pemanjatan jadi mudah dilakukan dan aman.

 

Via ferrata, memanjat tebing dengan tangga besi

 

Sejak kurang lebih 2 tahun lalu (Februari 2015) via ferrata pertama diresmikan dan dibuka untuk umum di Indonesia, tepatnya di Gunung Parang, Dusun Cirangkong, Desa Pasanggrahan, Kecamatan Tegalwaru, Purwakarta, Jawa Barat. Adalah Skywalker Via Ferrata, operator pertama yang menggagas via ferrata di Gunung Parang, dengan pemiliknya yang juga seorang pemanjat tebing, M. Rubini Kertapati.

 

Semua orang bisa melakukannya

 

Bagi yang baru pertama kali mau mencoba, ambillah paket paling mudah, memanjat jalur sepanjang 150 meter, dengan highlight 3 cerukan di dinding tebing yang Instagenik. Dijamin semua bisa asal bugar dan nggak punya penyakit jantung. Nah, bagi yang ingin tantangan lebih cobalah ambil paket kedua yang jalurnya 300 m. Pilihannya day trip (naik dan turun di hari yang sama) atau menginap satu malam di hutan kecil di atas tebing. Inilah yang disebut sky camp.

 

Cerukan di dinding tebing

 

Ceruk yang Instagenik

 

NGERI-NGERI SEDAP

Sudah dua kali mencoba jalur 150 m, saya pun tergoda mencoba jalur lanjutannya, sekalian nenda di atas. Kebetulan ada 6 teman sepakat, maka berangkatlah kami tanggal 20 Mei 2017 lalu ke Gunung Parang. Sampai di lokasi, ada 4 orang tambahan yang juga ikut di tim kami.

 

150 m pertama dapat dilalui dengan mudah

 

Seperti sudah saya tebak, tak ada yang kesulitan melewati 150 meter pertama. Apalagi kami memanjat sudah sore, jam 4-an, matahari sudah tak lagi kejam. Tapi tantangan demi tantangan baru mulai terasa setelah itu. Jalurnya banyak yang vertikal, membuat otot tangan kami bekerja lebih keras. Kalau tantangan kecil di jalur 150 m hanya 2-3 belokan, di jalur selanjutnya belokan makin banyak, daaaan.... jarak antartangga besinya makin jauh. Bahkan di beberapa ruas tangga besinya mengecil, hanya selebar sekepalan tangan atau satu pijakan.

 

Jalurnya mulai vertikal

 

Di beberapa ruas, tangga besinya mengecil dan jaraknya makin jauh

 

Itu belum seberapa. Yang bikin saya syok dan langsung menyimpan kamera yang sejak awal rajin saya jeprat-jepretkan, ada jalur yang tiba-tiba tangga besinya menghilang. Omaiii.... Jalur kawat bajanya sih tentunya tetap ada. Tetap aman. Tapi ketiadaan tangga besi membuat kami harus merayap, merapatkan tubuh ke tebing, mencari-cari pijakan dan pegangan. Tingkat kemiringannya sih masih bisa ditolelir, karena itulah, kata pemandu kami, di jalur sepanjang sekitar 3 meter itu nggak dipasang tangga besi, supaya ada tantangan lebih. Saya sempat gemetar, dan butuh menarik napas panjang dulu dan menguatkan hati sebelum merayap. Ngilu ngebayangin di belakang saya adalah ujung tebing di ketinggian 200-an meter dari permukaan tanah. Lebih ciut lagi hati ini saat ngebayangin nanti turunnya gimanaaaa....

 

Ada jalur yang nggak ada tangga besinya

 

Hari sudah gelap menjelang jam 6 sore –tanpa sunset karena mendung-- saat kami menyelesaikan anak-anak tangga terakhir sebelum memasuki hutan dan, horeee... Akhirnya kami sampai di area kemping, dasar tanah yang ditumbuhi pepohonan tinggi. Total sekitar 1 jam 45 menit kami memanjat.

 

Area kemping

 

MENIKMATI LAMPU-LAMPU

Di ujung area kemping, di bongkahan batu besar, di situlah kami duduk-duduk santai menikmati pendar lampu-lampu di bawah sana yang tak lain berasal dari keramba-keramba di Waduk Jatiluhur. Suasana damai dan sepi, hanya ada celoteh kami. Dan nasi goreng malam itu yang disiapkan oleh tim pemandu yang terdiri dari 3 orang terasa nikmat padahal lauknya hanya telur dadar.

 

Para pemandu menyiapkan makan malam

 

Udara malam di ketinggian 650 mdpl terasa sejuk, dingin tak menggigit. Sleeping bag yang disediakan hanya kami gelar di atas matras di dalam tenda, dan kami tidur di atasnya, bukan di dalamnya. Tenda malah tak kami tutup, membiarkan angin malam yang sejuknya pas mengantar kami tidur. Para pemandu malah hanya tidur di dalam sleeping bag tanpa tenda, hanya beratap terpal. Salah satu teman saya juga tidur di hammock yang digantung di luar. Malam itu, terdengar suara dengkur bertalu-talu.

 

DAN LUTUT PUN BEKERJA KERAS

Sesi foto dengan hammock

 

Sesi foto dengan kursi lipat

 

Usai sarapan mie instan dan sesi foto-foto di ujung tebing dengan memanfaatkan properti kursi lipat dan hammock, kami bersiap turun gunung. Sebelumnya, begitu bangun dan keluar tenda, kami masing-masing berkeliling melihat area sekitar yang malam sebelumnya tak bisa kami lihat karena sudah keburu gelap. Terlihat bahwa area kemping kami terpisah jurang dalam dengan bubungan puncak. Jurang itulah yang katanya nanti akan disambung dengan jembatan baja, yang juga akan dibuka untuk umum. Mmm... siapkan hati untuk tantangan baru...

 

Area kemping dan puncak terpisah jurang

 

Pukul 09.00 kami mulai bergerak menuruni gunung. Belum terlalu panas, tapi panas dinding tebing lumayan terasa. Menyesal tak membawa sarung tangan. Seperti juga menuruni gunung dengan jalur yang curam, proses turun dengan tangga besi pun tak lebih mudah dari proses naik. Terkadang saya harus menumpukan lutut di dinding tebing saat tangga besi tak terjangkau telapak kaki. Lalu di jalur “neraka” tanpa tangga besi itu saya memilih tetap merayap mundur, jadi mata nggak perlu melihat bibir tebing. Sementara teman lain ada yang lebih nyaman ngesot menghadap depan. Mana suka aja deh.

 

Menuruni tebing vertikal

 

Kadang harus menumpukan lutut

 

Butuh sekitar 1 jam buat saya dan beberapa teman untuk sampai di perhentian 150 m. Lega rasanya setelah sampai di situ. Dari situ tinggal melintasi jalur ke samping, berpose lepas tangan di “must pose spot”, lalu duduk menanti giliran turun di ceruk pertama dan kedua, sambil tak lupa mengambil foto dengan pose-pose dramatis.

 

Must pose spot

 

Proses terakhir, menuruni tebing setinggi 150 m dengan lowering. Kami turun dengan posisi digantung dengan tali yang dikontrol oleh pemandu (pemandu melakukan belaying), dan kami harus membuat tali bergerak dengan menjatuhkan badan ke belakang hingga sekitar 45 derajat dan melangkah mundur. Lebarkan posisi kedua kaki, jangan rapat, demi menjaga keseimbangan. Lowering ini juga nggak butuh skill khusus. Semua pasti bisa dan ‘kepaksa’ bisa.

 

Sebelum lowering, bergaya dulu

 

Baca juga “Kabar Gembira! Siapa Pun Bisa Memanjat Tebing Gunung Parang

 

Mau mencoba sky camp atau via ferrata paket pemula? Hubungi MyTrip di 0811821006 atau mytrip@media.femalindo.com. Dibuka open trip via ferrata tiap Sabtu.

Teks: Mayawati NH Foto: Bayu Anggoro, Ernawati, Mayawati NH, Skywalker Via Ferrata
Comment