DI LEMBAH BALIEM, BENDERA MERAH PUTIH BERKIBAR DENGAN GAGAHNYA 2016-11-03 00:00

 

Gunung-gunung, lembah-lembah yang penuh misteri. Yang kupuja s’lalu keindahan alammu yang mempesona...”

Blusukan di Lembah Baliem sudah lama saya idam-idamkan. Tapi akhirnya baru kesampaian September lalu. Saya memang sengaja nggak datang pas festival yang digelar Agustus karena justru ingin menyesapi keindahannya tanpa keriuhan. Kebetulan 6 teman barengan saya setuju.

Perasaan bahagia sudah membuncah sejak keberangkatan dari Jakarta. Dan lebih menggelora lagi demi melihat lebatnya hutan di jantung Papua dari jendela pesawat Trigana yang terbang dari Jayapura ke Wamena selama 35 menit. Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, adalah kota gerbang masuk menuju Lembah Baliem, ‘surga’ yang saya impikan itu...

 

TREKKING 3 HARI DIMULAI DARI SUNGAI YETNI

Kami sepakat hanya trekking 3 hari di Lembah Baliem. Durasi yang paling pas supaya puas mengeksplor lembah spektakuler ini tapi sekaligus nggak terlalu melelahkan.

Dari Wamena mobil mengantar kami –rencananya-- sampai Sogokmo, tepi Sungai Yetni, di mana jalan sudah tak bisa lagi dilalui kendaraan. Tapi baru 15 menitan, mobil kami terpaksa berhenti karena jalanan rusak tertimpa longsoran. Terpaksa kami jalan kaki memutar, dan cari mobil tumpangan lain di seberang.

Pukul dua siang barulah kami memulai trekking. Diawali dengan menyeberangi Sungai Yetni. Nggak ada jembatan. Tapi sungainya dangkal. Beberapa dari kami termasuk saya memilih membuka sepatu lalu ngerobok sungai. Wuiih deras juga airnya. Beberapa menerima tawaran Pak Alinus, kepala porter sekaligus juru masak kami, untuk digendong. Di sini saja pemandangannya sudah membuat kami blingsatan menjeprat-jepretkan kamera ke sana ke mari. Jadi, jangan ditanya apa yang terjadi beberapa menit dan jam kemudian sepanjang jalur trekking. Semua pengkolan indah!

 

Digendong menyeberangi Sungai Yetni

 

Deretan pegunungan, lembah-lembah raksasa dengan Sungai Baliem membelah di tengahnya, pohon mimosa kering, ngarai dengan bebatuan kekuningan, perdu merah yang merumbul adalah sajian alam yang kami nikmati dalam setiap langkah. Decak kagum tak putus-putusnya terlontar dari mulut kami. Belum lagi ada sapaan hangat dari penduduk asli –bapak-bapak, mama-mama, bocah-bocah hitam keriting—di antara hamparan ladang dan di balik honai, serta sambutan babi-babi liar yang menyeruak dari balik semak. Semuanya membuat kami tak henti bersyukur.

 

Pohon mimosa kering menambah eksotis

 

Bocah-bocah hitam keriting

 

Ngarai cantik

 

Hujan menjamah kami beberapa ratus meter sebelum mencapai Desa Kilise, perhentian pertama kami.

 

PASAR DADAKAN DAN UPACARA BENDERA DI KILISE

Inilah honai kami di Desa Kilise

 

Sinar mentari pagi yang mendesak masuk di antara celah dinding honai dan suara musik di kejauhan membangunkan kami pagi itu. Saya pun membuka risleting tenda, baru membuka pintu honai. Ya, kami tidur di dalam honai, tapi di dalamnya dipasang tenda lagi, lengkap dengan matras, selimut, dan sleeping bag. Ini gaya standar untuk para wisatawan yang bermalam di Lembah Baliem.

 

Sarapan dengan pemandangan ini

 

Sarapan sambil memandang arak-arakan awan dan kabut dengan latar dinding pegunungan merupakan nikmat yang tiada tara. Cuaca sejuk, tapi nggak terlalu dingin. Seorang bapak berjalan ke arah tiang di halaman depan honai dan mulai mengerek bendera merah putih. Kami pun sigap berbaris mengelilingi tiang sambil memberi hormat kepada Sang Saka yang berkibar gagah ditiup angin lembah. Berkibarlah Merah Putihku, selamanya di Bumi Papua ini... Doaku dalam hati.

 

Hormat kepada Sang Saka

 

Beberapa saat kemudian datanglah serombongan penduduk lokal yang menggelar dagangannya. Koteka, replika honai, gelang dari akar pohon, noken, tas dari bulu burung, kalung dengan liontin taring babi dan aneka kerajinan khas lainnya dijajakan. Di antara penjual ada Pak Yehezlkiel dengan kostum kotekanya, lengkap dengan hiasan kepala dan lengan. Wajahnya nampak familiar. Ya, bapak satu ini ternyata sering menjadi model untuk brosur-brosur wisata Papua. Pak Yehezkiel juga sempat mempertontonkan cara membuat api secara tradisional dengan memanfaatkan rotan dan jerami.

 

Pak Yehezkiel membuat api

 

Pak Yehezkiel dan MyTrip

 

Sejenak kami sibuk memilih-milh barang yang kami incar dan berbincang karib dengan bapak maupun mama penjual. Logat mereka berbeda, tapi yup, semua fasih berbicara dalam Bahasa Indonesia. Kadang saya masih tertakjub-takjub. Di pedalaman, pakaian yang mereka kenakan pun tradisional, tapi toh semua mudah berkomunikasi karena kita punya bahasa persatuan. Kembali saya bersyukur, ah untung ya ada Sumpah Pemuda. Untung ya tinggal di Indonesia. Begitu banyak perbedaan dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud sampai ke Rote, agama, suku, ras, bahasa daerah, ada beragam rupa, tapi sekali lagi, kita semua dipersatukan oleh satu nama: Bangsa Indonesia.

 

Sibuk belanja

 

JEMBATAN GANTUNG BERGOYANG-GOYANG

Trek kami hari ini mulai menguras bukan cuma tenaga tapi mental. Bagaimana tidak? Baru beberapa menit meninggalkan Desa Kilise, kami sudah dihadapkan pada turunan terjal. Sementara kaki mencari-cari pijakan aman, mata terpuaskan dengan bentangan alam 360 derajat yang sungguh menyihir. Kata-kata tak sanggup mewakili apa yang kami lihat. Sungguh, nikmat mana lagi yang kau dustakan.

 

Turunan terjal berpemandangan cihuy

 

“Tak terkatakan,” begitu seruan salah satu dari kami demi melihat keindahan sekaligus kengerian yang mengampar di depan kami. Omaiii... Curam sekali, batin saya. Tapi semua harus dilalui dengan berani dan tabah. Pemandu dan para porter sigap membantu kami menuruni trek curam yang cukup panjang seakan tak berujung itu. Memastikan kami nggak ada yang menggelundung ke bawah.

Lepas dari turunan curam, ada satu tantangan lagi yang membuat jiper. Suspension bridge alias jembatan gantung yang membentang di atas Sungai Baliem, yang alamaaak.... deras banget! Keberanian saya mengkerut manakala melihat jeram maut tepat di bawah jembatan. Dan aaah... Benar kata Pak Yehezkiel, jembatannya sudah miring dan agak ringkih! Seketika kami semua menjadi sangat religius. Komat-kamit selama menyeberangi jembatan satu-satu. Ya, satu-satu. Jembatan tak kuat menahan beban 2 orang langsung, jadi setakut apa pun kami, kali ini ngga bisa minta digandeng porter. Amankan langkah masing-masing ya... Saya merasakan jembatan makin mengayun terkena angin kencang saat saya berada di tengah-tengahnya. Bilah-bilah kayu yang keropos dan hilang menciptakan bolongan di sana-sini, menambah ketegangan.

 

Jembatan gantung yang miring dan bergoyang

 

Bersyukur-bersyukur, alam tak cuma menyuguhkan keindahan tapi juga menawarkan kebaikan bagi kami. Kami semua selamat melewati jembatan, dan melanjutkan perjalanan.

 

HABIS TURUNAN CURAM, TERBITLAH TANJAKAN TERJAL

Lalu tanjakan demi tanjakan terjal pun tanpa ampun menghadang kami. Nggak cuma terjal, tapi di beberapa ruas, treknya hanya selebar pas dua telapak kaki, dengan tebing menjulang di kiri dan jurang tertutup semak menganga di kanan. Sudah sempit, terkadang miring pula. Dan saat itu lintasan menjadi becek licin karena hujan. Ya siang itu kami diguyur hujan. Uluran tangan porter menjadi penyelamat saya dan juga teman-teman.

 

Jalur berat di hari ke-2

 

Kurang lebih 6-7 jam total kami berjalan (termasuk istiahat makan siang), akhirnya sore itu sampailah kami di Desa Ugem, perhentian kedua. Hmmm... menurut itinerary seharusnya perhentian kedua kami di Syokosimo. Tapi kami cuma sanggup sampai Ugem. Tak apa lah. Melihat peta, Syokosimo masih jaooooh...

 

TAK RELA BERPISAH

Hari ketiga, saatnya kembali ke titik awal keberangkatan, tapi melewati jalur berbeda, di seberang jalur hari pertama. Kembali mata kami dimanja dengan kombinasi gunung, lembah dan sungai. Sambil tertakjub-takjub lagi, “Kemarin kita nurunin jalur itu yaa.. dan terus naik lagi, woww!”

 

Jalur pulang yang warbyasak

 

Semuanya tampak akbar sekaligus anggun, dengan ditingkahi barisan mama-mama yang membawa noken penuh barang di kepalanya. Mereka bisa jalan berhari-hari dari Wamena, ke desa mereka yang lebih jauh lagi dari Ugem. Uhh, hidup mereka begitu keras. Tapi mereka selalu menebar senyum setiap kali berpapasan dengan kami. Mama, kalian hebat! Kami tak ada apa-apanya.

Tak ada yang rela melepaskan pemandangan sekaliber Lembah Baliem. Tapi toh kami harus kembali ke Wamena. Semoga saya bisa kembali lagi, blusukan lebih jauh. Semoga.

 

Bersama pemandu dan sebagian porter

Teks: Mayawati NH Foto: Mayawati NH, Priyo Tri Handoyo
Comment