LIBURAN ANTIMAINSTREAM: MENGENANG DRAMA KEMANUSIAAN DI KAMPUNG VIETNAM PULAU GALANG 2019-09-02 00:00

Spot yang cantik untuk berfoto di Pulau Galang

 

Pelajaran sejarah bagi sebagian besar orang bisa jadi bukan mata pelajaran favorit, malah dianggap menjemukan. Isi pelajarannya pun sedikit sekali yang nyangkut sampai sekarang. Salah satunya tentang bagaimana manusia-manusia perahu dari Vietnam tiba di wilayah Indonesia dan akhirnya menetap cukup lama di Pulau Galang, Batam. Mungkin banyak yang lupa soal sejarah yang satu ini. Tapi dengan berkunjung ke Pulau Galang, melihat dari dekat sisa-sisa peninggalan kamp pengungsi yang disebut Kampung Vietnam, ingatan kita dibangkitkan kembali. “Pelajaran sejarah” yang disampaikan pemandu lokal di tempatnya langsung menjadi hal yang menarik. Ya, berkunjung ke Pulau Galang ternyata lebih menarik dari yang dibayangkan sebagian besar orang.

 

Pulau Galang berada kurang lebih 63 km di sebelah tenggara Pulau Batam. Di antara kedua pulau tersebut ada Pulau Rempang. Ketiga pulau yang masuk wilayah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) ini dihubungkan oleh enam buah Jembatan Barelang (Batam-Rempang-Galang). Dengan kondisi jalanan yang relatif lengang –hanya kadang sedikit padat di Kota Batam, berkendara dari Batam ke Galang hanya butuh waktu 1-1,5 jam.

 

Begitu tiba di Pulau Galang, untuk mencapai Kampung Vietnam atau sekarang disebut juga Memorial of Galang nggak jauh, hanya hitungan menit. Tiket masuk Rp5.000 per orang, atau satu mobil Rp25.000, satu bus Rp50.000.

 

Di areal seluas 80 hektar di Desa Sijantung ini ada beberapa bangunan atau monumen yang tentunya harus dikunjungi supaya kita mendapatkan “pelajaran sejarah” itu. Yang utama tentu bangunan bekas kantor UNHCR (badan PBB yang khusus mengurusi pengungsi) yang kini dijadikan pusat informasi, yang juga seperti museum. Di sini kita bisa melihat beragam lukisan yang menggambarkan perjuangan para pengungsi. Salah satu yang bikin ngenes, lukisan yang menggambarkan satu keluarga berikut anak-anak yang masih kecil yang ditemukan telah meninggal di dalam perahu. Ada juga satu dinding yang penuh berisi pasfoto para pengungsi dengan tulisan “Seribu Wajah Kenangan Pulau Galang”. Pokoknya banyak lagi yang bikin trenyuh, termasuk benda-benda peninggalan yang pernah dipakai para pengungsi.

 

"Seribu Wajah Kenangan Pulau Galang"

 

Sebaiknya menyewa pemandu untuk menemani berkeliling dan bercerita banyak. MyTrip merekomendasikan pemandu bernama Abunawas Tanawolo, yang berdarah campuran Flores dan Sulawesi tapi besar di Galang. Ia sangat fasih bercerita tentang drama-drama kemanusiaan yang terjadi pada para pengungsi Vietnam.

 

Pak Abunawas, pemandu Kampung Vietnam di Pulau Galang yang berdarah Flores

 

Tahun 1979 Pulau Galang mulai didatangi manusia-manusia perahu dari Vietnam bagian selatan yang eksodus pasca perang saudara di negaranya. Awalnya para pengungsi yang naik perahu apa adanya dan satu perahu sampai overload disii 40-100 orang itu banyak yang terkatung-katung di Laut Natuna Utara (atau lebih dikenal sebagai Laut Cina Selatan). Ada juga yang beruntung bisa mendarat di Pulau Natuna (posisinya lebih utara lagi dari Galang, jadi lebih dekat dari Vietnam), Pulang Galang, Tanjung Pinang di Pulau Bintan, dan beberapa pulau kecil lain di Provinsi Kepri. Hal ini tentu menjadi masalah, karena jumlah mereka ratusan ribu, hingga akhirnya menjadi perhatian PBB dan dunia internasional.

 

Baca juga: "Natuna Nggak Cuma Alif Stone Park, Ada Pantai Lubang Kamak Nih!"

 

Jadi singkat cerita UNHCR dan pemerintah Indonesia bersepakat membangun kamp pengungsi di Pulau Galang yang kebetulan saat itu tak berpenghuni dan dan tak ada akses langsung ke pulau-pulau di sebelahnya, terutama ke Pulau Batam. Ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan, pengaturan, dan penjagaan keamanan, sekaligus untuk menghindari penyebaran penyakit kelamin Vietnam Rose yang dibawa oleh para pengungsi. Total jumlah pengungsi yang ditampung ada sekitar 250.000 jiwa.

 

Indonesia dan UNHCR membantu proses pembekalan, seleksi, dan pemberangkatan mereka ke negara ketiga yang mau memberi suaka, negara maju yang mereka tuju untuk memulai kehidupan baru, di antaranya Australia, Amerika Serikat, Kanada, dan beberapa negara Eropa. Yang tidak lolos, dipulangkan kembali ke Vietnam. Jadi tahun 1996 Pulau Galang sudah kosong dari pengungsi, dan akhirnya oleh Otorita Batam dikembangkan menjadi objek wisata.

 

Apa saja yang bisa dilihat? Yang terbesar dan paling mencolok adalah Vihara Quan Am Tu. Bangunan yang tentu telah mengalami renovasi, dan sekarang penampilannya warna-warni. Tempat ibadah umat Buddha ini masih aktif dipakai hingga sekarang dan sangat terawat.

 

VIhara Quan Am Tu

 

Ada juga Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem yang bangunannya dominan dari kayu. Saat MyTrip datang akhir Juli 2019 lalu ada seorang wanita tua yang menjaga gereja ini. Beliau berasal dari Pulau Adonara di Flores NTT. Gerejanya sangat bersahaja. Terasa sekali aura ketenangan saat masuk ke dalamnya.

 

Bagian dalam Gereja Katolik di Kampung Vietnam Pulau Galang

 

Uniknya, persis di sebelah kanan gereja ada vihara, bukan Vihara Quan Am Tu, beda lagi. Sementara di sebelah kiri gereja ada taman doa dengan patung Bunda Maria yang cukup besar berdiri di atas bola dunia dengan peta Vietnam, dan di depannya ada haluan perahu. Membaca kalimat yang terpatri di salah satu panel batu di depan patung ini, kita akan bergidik, merasakan kesedihan yang mendalam sekaligus rasa syukur yang membuncah.

 

Patung Bunda Maria di sebelah kiri gereja

 

Menetapnya pengungsi bertahun-tahun, jadi tak hanya sarana ibadah yang dibangun, tapi juga sekolah, rumah sakit, dan penjara! Ya, penjara. Karena ratusan ribu orang hidup sekian lama di pengungsian, meskipun sudah diatur sedemikian manusiawi, tetap saja terjadi bentrokan antar pengungsi, pencurian, bahkan perkosaan dan pembunuhan. Penjara juga dibangun untuk menahan yang coba melarikan diri. Penjara yang kini fungsinya sebagai markas satuan Brimob Polri yang bertugas di Pulau Galang masih ada. Kita bebas berfoto-foto, bahkan iseng masuk ke selnya juga boleh.

 

Foto-foto iseng di penjara :-)

 

Objek-objek lainnya adalah Patung Taman Humanity (untuk mengenang seorang pengungsi perempuan bernama Tinh Han Loai yang bunuh diri karena tak kuat menanggung malu usai diperkosa oleh beberapa pengungsi), areal pemakaman yang bernama Ngha Trang Grave, juga Monumen Perahu yang terdiri atas tiga perahu yang digunakan para pengungsi untuk tiba di Pulau Galang dan sekitarnya. Perahu yang sekarang sudah hasil perbaikan karena sempat ditenggelamkan oleh para pengungsi pada tahun 1996, sebagai bentuk protes atas kebijakan UNHCR dan Pemerintah Indonesia memulangkan sekitar 5.000 pengungsi yang tidak lolos tes untuk mendapatkan kewarganegaraan baru.

 

Yang paling menarik dari segi fotografi adalah Patung Bunda Maria dengan latar layar biru yang di bagian belakangnya digambar peta Vietnam, yang berada di atas bukit. Patungnya ada dua, bersebelahan, yang satu lebih kecil, itu yang asli sudah ada dari zaman pengungsian. Yang satunya lagi jauh lebih besar, belum lama rampung. Jadi jangan lupa berfoto-foto di sini kalau ke Pulau Galang.

 

Monumen patung Bunda Maria yang lebih besar, di belakangnya ada aslinya yang lebih kecil

 

Sampai sekarang, masih banyak eks pengungsi Vietnam yang sudah hidup sukses di negeri tujuan atau anggota keluarganya yang datang ke Galang untuk ziarah, reuni atau bahkan hanya sekadar mengenang kembali jalan hidup yang pernah mereka lewati.

 

Jam operasional Kampung Vietnam: 07.30-16.30 (Senin-Jumat), 07.30-17.30 (Sabtu, Minggu & Hari Libur).

 

MENGINAP DI MANA DI PULAU GALANG?

Beberapa tahun lalu memang sama sekali nggak ada penginapan di Pulau Galang. Tapi sekarang sudah ada Kelong Almira, juga Vila Mirota. Bagaimana penginapannya dan kegiatan apa lagi yang bisa dilakukan di Pulau Galang, tunggu artikel selanjutnya ya.
 

Teks & Foto: Mayawati NH
Comment